Eks Kepala BMKG Wanti-Wanti : Puncak Hujan Masih Sampai Februari
WARTAJOGJA.ID : Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati memperkirakan
potensi longsor dan banjir bandang masih mengancam berbagai wilayah di Indonesia karena puncak penghujan baru dimulai November 2025 ini.
"Masa puncak musim hujan masih berlangsung November 2025 hingga Februari 2026," kata Dwi Korita, Jumat 5 Desember 2025.
Dwi yang juga Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menuturkan, pemerintah dan masyarakat perlu bersiap dan lebih waspada.
Terutama pasca rangkaian bencana hidrometeorologi melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Yang menurutnya bencana itu sekaligus menunjukkan rentannya kawasan berlereng curam, daerah dengan alih fungsi lahan, serta zona tektonik aktif dengan kondisi geologi rapuh.
"Tak hanya Sumatera, daerah yang cukup rawan dengan meningkatnya curah hujan dengan ciri-ciri itu terdapat juga di Jawa, Bali, NTT, Sulawesi, Maluku, hingga Papua," kata Dwikorita.
Dwikorita menjelaskan bahwa aliran debris—campuran lumpur, batu, material kayu, dan sedimen dari hulu—dapat bergerak dengan kecepatan tinggi ketika curah hujan ekstrem melanda kawasan pegunungan *berlereng curam.
Material ini, kata dia, dapat menghantam pemukiman dan infrastruktur dalam hitungan detik, sehingga masyarakat di bantaran sungai dan wilayah di bawah tebing harus mendapat prioritas informasi
peringatan dini. Perlu juga penguatan kapasitas masyarakat di daerah rawan itu untuk merespons cepat peringatan dini yang diberikan.
Menurut Dwikorita, data empiris BMKG menunjukkan kecenderungan pembentukan bibit siklon dan siklon tropis meningkat pada setiap bulan Desember hingga Maret atau April tahun berikutnya. Terutama di belahan selatan bumi.
Kondisi ini menempatkan wilayah selatan khatulistiwa—termasuk Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan dan tenggara, Maluku, hingga Papua bagian selatan seharusnya berada dalam kondisi Siaga terhadap cuaca ekstrem yang dapat memicu longsor, banjir bandang, dan banjir di daerah hilir. Sepertu yang telah terjadi di wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh saat ini.
Ia menambahkan bahwa perubahan iklim memperbesar risiko yang sudah tinggi secara alami. Kenaikan suhu global 1,55°C membuat kejadian hujan ekstrem semakin sering, dan prediksi menunjukkan peningkatan dapat mencapai 3,5°C pada akhir abad bila tidak ditekan.
Dengan curah hujan setinggi ratusan milimeter per hari, sistem hidrologi di Sumatera tidak mampu lagi meredam laju air. “Kalau mitigasi ekologinya dilewatkan, kita bisa musnah,” ujar dia.
Ia menilai struktur geologi Sumatera membuat wilayah ini sangat labil.
Batuan yang terbentuk dari tumbukan lempeng naik dari dasar laut dalam kondisi retak-retak sehingga mudah longsor saat diguncang gempa kecil. Longsoran inilah yang kemudian menyumbat aliran sungai dan membentuk bendungan alami yang sewaktu-waktu dapat jebol. “Retakan-retakan itu membuat wilayah ini sangat rentan terhadap gerakan tanah,” katanya.
Selain itu, anomali siklon tropis yang makin sering muncul memperburuk keadaan.
Siklon yang biasanya tidak menembus zona tropis kini tumbuh di wilayah Indonesia dan bergerak melintasi daratan, membawa hujan intens selama berhari-hari. Fenomena ini tidak hanya memperbesar risiko banjir bandang, tetapi juga mempersingkat periode ulang bencana yang sebelumnya puluhan tahun.
“Siklonnya tidak lagi patuh pada jalurnya, dan ini anomali yang semakin sering muncul,” ujar Dwikorita.
Dwikorita menjelaskan bahwa anomali siklon yang terjadi tahun ini tidak muncul secara terpisah, melainkan merupakan rangkaian fenomena yang telah terlihat sejak kemunculan Siklon Seroja dan Cempaka beberapa tahun sebelumnya.
Pola siklon-siklon tersebut mulai menunjukkan perilaku tidak lazim, termasuk melintasi daratan dan bertahan lebih lama di wilayah tropis yang seharusnya menjadi zona penghalau.
Siklon Senyar mempertegas gejala itu dengan tumbuh di area yang biasanya tidak memungkinkan dan bergerak menyeberangi daratan hingga mencapai Semenanjung Malaya. “Ini anomali yang mengindikasikan perubahan iklim semakin mempengaruhi dinamika siklon di kawasan Indonesia,” kata dia.
Dwikorita meminta pemerintah di daerah mengambil langkah mitigasi cepat di daerah rawan, mulai dari identifikasi atau cek ulang zona merah rawan bencana dan lakukan pembatasan aktivitas manusia di zona merah pada periode peringatan dini BMKG. Juga penyiapan lokasi dan jalur, serta peta evakuasi yang aman, terutama bagi kelompok rentan seperti difabel, lansia, wanita hamil dan anak-anak.
Pemerintah daerah, kata dia, juga harus memastikan kesiapan rencana kontinjensi atau rencana kedaruratan. Antara lain meliputi penyediaan logistik untuk 3–6 hari ke depan, dan fasilitas pertolongan pertama untuk kesehatan dan keselamatan, pengamanan dokumen penting warga, penguatan sarana dan jaringan komunikasi.
"Perlu juga ketersediaan peralatan evakuasi dan alat berat untuk penanganan darurat di lapangan dalam jumlah yang cukup memadai," kata dia.
Dwikorita menegaskan bahwa rangkaian bencana di Sumbar, Sumut, dan Aceh merupakan peringatan keras dari alam bahwa mitigasi tidak boleh lagi diperlakukan sebagai upaya jangka pendek, atau bahkan diabaikan.
“Mitigasi bencana harus berbasis pada pemulihan dan perlindungan lingkungan.Tidak ada gunanya merancang mitigasi apa pun jika lingkungan keselanatan jiwa tetap diabaikan,” ujarnya.
Post a Comment