Yogyakarta Jadi Panggung Industri Tekstil Global: ITMF dan IAF Soroti Tantangan "Textile 5.0"
WARTAJOGJA.ID : Yogyakarta, kota yang kental dengan warisan budaya dan kearifan lokal, baru-baru ini menjadi tuan rumah pertemuan bergengsi industri tekstil dunia. Welcome Dinner untuk The International Textile Manufacturers Federation (ITMF) and International Apparel Federation (IAF) Annual Meeting 2025 digelar pada Kamis (23/10) di Hotel Royal Ambarrukmo, menandai dimulainya diskusi krusial mengenai masa depan industri yang terus berevolusi.
Pertemuan tahunan ini, yang menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastratmaja, dihadiri oleh sekitar 350 tamu—268 di antaranya adalah delegasi mancanegara—dirancang sebagai ajang pertukaran pengetahuan dan perumusan keberlanjutan industri global.
Jemmy menyoroti bahwa Yogyakarta dipilih karena kekayaan warisan seni, kerajinan, dan kreativitasnya, yang dinilai merefleksikan esensi industri tekstil dan fashion yang mampu menggabungkan tradisi dengan inovasi. "DIY juga dikenal sebagai pusat produsen tekstil dan garmen yang maju berkembang, sehingga perlu mendapatkan perhatian dari pemangku kepentingan," tambahnya, menekankan posisi strategis wilayah ini.
Dari Sandang Dasar Menuju Smart Fabrics
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam sambutannya, menempatkan tekstil sebagai "salah satu penanda peradaban," yang esensinya terletak pada industri yang selalu merespons kebutuhan dasar manusia. Sri Sultan menggarisbawahi bagaimana fungsi dasar 'sandang' telah mengalami transformasi radikal.
"Seiring pertumbuhan populasi, dan peningkatan kelas menengah dunia, kebutuhan ini meluas bukan hanya dari segi kuantitas, tetapi juga kualitas, keberlanjutan, dan bahkan functionality," ujar Sri Sultan. Ia menjelaskan bahwa kain kini tidak lagi sekadar penutup dan pelindung tubuh, melainkan telah berevolusi menjadi "medium bagi smart fabrics yang memantau kesehatan, bio-textiles yang ramah lingkungan, dan material canggih hasil rekayasa nano." Evolusi ini menuntut industri untuk beradaptasi lebih jauh.
Tiga Mega-Tantangan Menuju 'Textile 5.0'
Dalam menghadapi masa depan, Sri Sultan memetakan tiga tantangan besar yang harus diatasi oleh industri tekstil global.
Pertama, ia menyebutkan tekanan keberlanjutan yang multidimensi, didorong oleh perubahan iklim. Tuntutan telah bergeser dari sekadar mengurangi limbah menuju "transformasi radikal dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular yang regeneratif." Tantangan ini bukan hanya tentang limbah, tetapi juga melibatkan "konsumsi air yang masif, polusi mikroplastik, dan emisi karbon dari rantai produksi global."
Kedua, disrupsi digital dan kesenjangan teknologi menjadi ancaman serius. Meskipun Revolusi Industri 4.0 menawarkan otomasi, AI, dan blockchain yang mengubah lanskap produksi, terdapat potensi jurang yang mengancam pelaku industri tradisional. Sri Sultan khawatir bahwa "jurang antara perusahaan besar dan UMKM yang kesulitan mengakses teknologi, justru berpotensi menciptakan kesenjangan yang mengancam keberlangsungan pelaku industri tradisional."
Ketiga, kompleksitas rantai pasok global menciptakan kerentanan. Meskipun efisiensi dapat dicapai, rantai pasok global yang rumit kini rentan terhadap "guncangan. Mulai dari pandemi, konflik geopolitik, hingga fluktuasi harga bahan baku global," kata Sri Sultan, menekankan perlunya ketahanan struktural.
Membangun Peta Jalan "Textile 5.0"
Menanggapi kompleksitas tantangan tersebut, Sri Sultan menekankan perlunya visi ekosistem dan kolaborasi yang melampaui batas konvensional. Ia memimpikan masa depan yang ia sebut sebagai "Textile 5.0."
"Industri tekstil di masa depan adalah kolaborasi antara data saintifik dan maestro tenun, antara insinyur bioteknologi dan perajin tradisional, antara regulator yang visioner dan pelaku industri yang gesit," pungkas Sri Sultan. Ia mengajak para pemangku kepentingan untuk bersama-sama membangun peta jalan menuju era baru ini, di mana industri tekstil "menjadi pionir dalam keberlanjutan, inklusivitas, dan kecerdasan buatan, tanpa kehilangan jiwa dan jati dirinya."
Tema pertemuan ITMF dan IAF 2025 sendiri, yaitu 'Menavigasi Ketidakpastian dan Mengadopsi Teknologi, Jalan Menuju Kekuatan Berkelanjutan dalam Industri Tekstil dan Pakaian Jadi,' sangat selaras dengan pandangan Sri Sultan.
Acara yang berlangsung selama dua hari, 24-25 Oktober 2025, ini juga dimeriahkan dengan Eksibisi Batik Dalam Daur Hidup oleh Afif Syakur dan peragaan busana persembahan API DIY, merayakan perpaduan warisan dan inovasi yang menjadi identitas Yogyakarta dan industri tekstil.
Post a Comment