News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Menggali Batas Baru Seni Pertunjukan: ICPA Ke-7 ISI Yogyakarta Menjelajahi Intermedialitas dan Era Kecerdasan Buatan

Menggali Batas Baru Seni Pertunjukan: ICPA Ke-7 ISI Yogyakarta Menjelajahi Intermedialitas dan Era Kecerdasan Buatan

WARTAJOGJA.ID : Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta kembali menegaskan posisinya sebagai pusat kajian seni regional dengan sukses menyelenggarakan The 7th International Conference on Performing Arts (ICPA) 2025. 

Digelar di Concert Hall ISI Yogyakarta, konferensi internasional ini menjadi platform krusial untuk mendiskusikan transformasi radikal seni pertunjukan di tengah gelombang revolusi digital.
ICPA 2025 kali ini mengusung tema provokatif: "Intermedialitas dalam Seni Pertunjukan: Teater, Film, Teknologi, dan Industri Kreatif di Era Kecerdasan Buatan (AI)."

Pembukaan Spektakuler: 'Peluk Terakhir Kunti'

Acara puncak konferensi didahului dengan pembukaan yang memukau, sebuah produksi megah dari Program Studi Teater Musikal FSP, yaitu "Peluk Terakhir Kunti" karya Dr. Yosef Adityanto Aji, M.Sn. 

Pementasan yang menarik ratusan tamu, termasuk Rektor dan Dekan, ini secara simbolis menunjukkan bagaimana praktik artistik mutakhir telah berdialog dengan teknologi dan narasi modern, menyiapkan panggung ideal bagi diskusi akademis yang akan berlangsung.


Rektor ISI Yogyakarta, Dr. Irwandi, S.Sn., M.Sn., memberikan apresiasi tinggi atas inisiatif FSP. Beliau berharap ICPA kali ini dapat memberikan dampak nyata (impactful) bagi seluruh civitas akademika, tidak hanya dosen dan mahasiswa, tetapi juga masyarakat luas.

"Ajang ini harus memperluas khazanah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi perkembangan seni pertunjukkan di era global, agar para akademisi dan mahasiswa kian dapat beradaptasi dan memanfaatkan teknologi dalam penciptaan karya-karya baru," ujar Rektor.

Meninjau Ulang Dramaturgi dalam Intermedialitas

Seminar utama ICPA 2025 mempertemukan akademisi dan praktisi seni dari berbagai belahan dunia, termasuk Dag Sigurd Yngvesson, PhD (University of Nottingham Malaysia Campus), Assoc. Prof. Tomilin Dmitry Valentinovich (The University of Theaterical Arts), Prof. He Qing Xin (Guangxi Arts University), dan Prof. Steve Dixon (LaSalle College of the Arts, University of the Arts Singapore).

Salah satu pembicara dari ISI Yogyakarta, Dr. Hirwan Kuardhani, M.Hum., memberikan paparan mendalam mengenai tantangan yang dihadapi institusi kesenian. Ia menyoroti bahwa perkembangan teknologi digital selama empat dekade terakhir telah membuat istilah dramaturgi menjadi lebih fleksibel dan longgar dalam konteks seni pertunjukan.

Hirwan Kuardhani menjelaskan bahwa seni pertunjukan kini harus dipahami sebagai "kinerja seni" yang meluas maknanya. 


Dunia riset dan teknologi mengalami perubahan mendasar, yang memaksa institusi seni untuk terus mengembangkan inspirasi dan imajinasi baik dalam penelitian maupun praktik penciptaan karya. Seni pertunjukan, khususnya teater di Indonesia, kini secara aktif terinspirasi dari beragam gagasan kultural dan teknologi, menjadikannya sebuah kinerja yang relevan bagi kepentingan masyarakat di era AI.

Masa Depan Seni dan Industri Kreatif

Dekan FSP ISI Yogyakarta, Dr. I Nyoman Cau Arsana, S.Sn., M.Hum., melihat ICPA 2025 sebagai momentum penting untuk pengembangan dunia seni pertunjukan di masa kini dan masa depan. Konferensi ini diharapkan tidak hanya menjadi ajang presentasi, tetapi juga wadah kolaborasi yang menghasilkan kerangka kerja baru bagi industri kreatif.

Diskusi intermedialitas ini sangat relevan. Di era Kecerdasan Buatan, batas antara teater langsung, produksi film, dan pengalaman digital semakin kabur.

ICPA ke-7 ini berfungsi sebagai ruang inkubasi ide, mendorong para akademisi dan praktisi untuk memikirkan kembali batas-batas disiplin ilmu dan bagaimana teknologi dapat diintegrasikan secara organik—bukan sekadar tempelan—untuk memperkaya pengalaman estetika dan narasi seni.

Konvergensi teater, film, dan teknologi digital yang kian berkembang telah mengubah paradigma penciptaan, produksi, dan pengalaman pertunjukan. Transformasi ini tidak hanya mendorong hibridisasi estetika tetapi juga merevitalisasi narasi tradisional (mitos, folklor, legenda) melalui lensa kontemporer yang sarat teknologi. Dalam konteks industri kreatif yang dinamis, integrasi teknologi baru dengan warisan budaya menciptakan peluang sekaligus tantangan etis. 

Evolusi ini memunculkan kegelisahan tentang bagaimana pengejawantahan ide dan sumber gagasan menjadi sebuah karya, bagaimana kajian dan pengembangan teoritik dan artistik mutakhir, bagaimana strategi pengembangan diri para pelaku seni pertunjukan, serta bagaimana pemetaan masa depan seni pertunjukan selanjutnya.
Intermedialitas dalam seni pertunjukan mengacu pada interakasi dan kolaborasi beragam media, aliran, dan bentuk seni dalam satu karya.

Intermedialitas tidak lagi sesederhana menggunakan proyeksi video dalam pertunjukan teater, atau penggunaan teknik sinematografi statis pada pertunjukan teater yang direkam. Perkembangan teknologi khususnya Artificial Intelligence (AI) saat ini kian meredefinisi secara radikal dan eksponensial pendekatan seni pertunjukan. AI telah berubah menjadi suatu entitas baru yang sangat dapat menjadi kreator, kolaborator, dan bahkan pemain itu sendiri. Konferensi ini bertujuan membangun ruang dialog kritis antara akademisi, seniman, dan praktisi untuk mengeksplorasi interdisiplineritas seni pertunjukan yang tengah berlangsung saat ini.

Kesimpulannya, ICPA 2025 yang diinisiasi oleh Jurusan Teater FSP ISI Yogyakarta ini adalah pernyataan bahwa seni pertunjukan Indonesia siap tidak hanya beradaptasi, tetapi juga memimpin diskusi global tentang bagaimana teknologi dan intermedialitas akan mendefinisikan kembali ekspresi artistik di abad ke-21.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment