Nasabah Di Bantul Layangkan Gugatan Ke Bank Karena Foto Keluarga Diambil Tanpa Izin
WARTAJOGJA.ID – Diduga mengambil foto tanpa izin salah satu nasabah dan anaknya yang masih dibawah umur, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Sewon digugat di Pengadilan Negeri (PN) Bantul. Delik laporannya adalah perbuatan melawan hukum dan penggugat menuntut ganti rugi Rp50 miliar.
Nasabah yang melayangkan gugatannya bernama Adler Yenprastawa, warga Palbapang, Bantul. Adler sendiri merupakan nasabah yang melakukan peminjaman senilai Rp1,25 miliar pada BPR tersebut sejak 2019.
“Kasus ini bermula saat kedatangan tiga orang perwakilan BPR pada 28 April lalu tanpa melalui perjanjian dan di luar jam kerja ke rumah saya. Mereka ingin memastikan pembayaran angsuran yang terlambat di bulan tersebut,” kata Andler, dikutip Jumat (12/9).
Sebelum kedatangan ketiga orang tersebut, Adler menyatakan dirinya sudah melakukan komunikasi internal dengan penyelia di internal BPR dan akan melakukan pembayaran angsuran di akhir bulan.
Namun tanpa sepengetahuan Adler, salah satu perwakilan kemudian mengambil gambar diam-diam tanpa izin dirinya. Padahal saat itu dirinya tengah memangku anak lelakinya yang masih di bawah umur.
“Info pertama kali foto saya bersama anak diambil tanpa izin melalui orang dalam BPR. Saya terkejut dan tidak terima karena urusan saya dengan BPR tidak berkaitan dengan anak saya,” lanjut Adler di sela-sela sidang ketujuh di PN Bantul, Kamis (11/9).
Dalam gugatannya ke PN Bantul, Adler menyatakan BPR yang beralamatkan di Sewon itu menyalahi ketentuan yang tertera dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan.
Dimana salah satu poinnya mengatur jam kunjungan pihak sektor jasa keuangan yang dibatasi dari jam 8-20 WIB di hari kerja.
Karena merasa harga dirinya terancam, serta mengklaim proses konfirmasinya itu menyalahi aturan POJK 22/2023, dia pun mengajukan gugatan dan menuntut pihak tergugat sebesar Rp50 miliar atas kerugian immaterial.
"Kalau tuntutan saya, ya, sesuai di gugatan jadi kalau kerugian material kan memang saya nggak ada, tapi immaterialnya kan saya merasa diancam, foto anak saya tersebar, siapa yang mau menjamin? Saya menuntut Rp50 miliar untuk kerugian itu," terang dia.
Meski menggugat melawan hukum, sebagai nasabah Adler mengaku masih terus melakukan pembayaran angsuran sesuai dengan kewajibannya. Dirinya sebelum menggugat telah melaporkan kasus ini ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) namun tidak pernah ada tindak lanjut.
Sejak sidang pertama yang dimulai Juni lalu, Adler memastikan pihak tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan. Termasuk sidang perdata yang ketujuh kemarin dengan agenda pemeriksaan saksi sehingga harus ditunda karena dari pihak tergugat tidak hadir di persidangan.
"Sebelum ajukan gugatan, Pak Adler konsultasi ke saya. Oh, ya, sudah ada unsur-unsurnya, pelanggaran formulirnya terpenuhi waktu itu pun kita tidak langsung gugat tapi kita adukan dulu ke OJK," kata Kuasa Hukum Adler, Kennedy Hasudungan Manihuruk.
"Intinya pasal pasal 62 POJK 22/2023 itu jelas dari ayat pasal 1 dan ayat-ayat besertanya itu jam berkunjung orang itu sudah diatur, dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam di hari kerja. Cuma masyarakat jarang yang tahu," ungkapnya.
Hal lain yang menurutnya menjadi perhatian, bahwa perwakilan BPR memotret anak dari kliennya tanpa izin.
"Klien gak terima anaknya di foto tanpa izin masuk grup internal mereka yang isinya grup itu tentunya orang dewasa semua, siapa yang bisa jamin foto anaknya itu untuk tidak digunakan perbuatan mesum misalnya loh. Ini anak di bawah umur yang diatur undang-undang perlindungan anak loh," imbuhnya.
Selain gugatan perdata, lanjut Kennedy, pihaknya juga berencana untuk melakukan pelaporan atas dugaan adanya unsur pidana. Sementara dari pihak PT BKS sampai berakhirnya persidangan tidak dapat dimintai keterangan awak media, sebab perwakilan dari mereka tidak hadir dalam persidangan.
Saat dihubungi, Ketua Perbarindo DIY, Wulfram Margono, menegaskan praktik penagihan utang di lingkungan BPR harus mengacu pada aturan OJK yang menekankan pendekatan humanis. Hal ini disampaikannya merespons keluhan nasabah BPR di Sewon yang mengaku didatangi petugas penagih tanpa pemberitahuan, meski sebelumnya sudah berkomunikasi untuk penundaan pembayaran.
“Perbarindo hanya menjadi wadah asosiasi sehingga tidak bisa ikut campur dalam teknis penagihan tiap BPR. Aturan perlindungan konsumen sudah jelas ditetapkan OJK dan berlaku untuk seluruh BPR. Karena sudah aturan OJK, otomatis semua BPR harus melaksanakan,” ujarnya.
Meski demikian, ia mengakui kondisi di lapangan kerap berbeda dan bisa mempengaruhi cara petugas melakukan penagihan. Kendati begitu, Wulfram menekankan pentingnya setiap BPR memastikan penagihan tetap sesuai aturan dan mengedepankan etika agar tidak merugikan nasabah.
Post a Comment