Dialog Budaya, Sejumlah Tokoh Soroti Sumbu Filosofi dalam Pusaran Zaman
WARTAJOGJA.ID : Plengkung Gading sebagai salah satu bangunan bernilai penting dari Sumbu Filosofi Yogyakarta yang pada 18 September 2023 ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia, hingga saat ini masih ditutup.
Mungkinkah Plengkung Gading dibuka lagi? Pertanyaan itu mencuat tatkala berlangsung Dialog Budaya 2 bertema Sumbu Filosofi dalam Pusaran Zaman Sebuah Transformasi Nilai? Senin (15/9/2025), di Jawon Resto Jalan Wonosari, Banguntapan Bantul.
Selaku narasumber pada acara yang digelar Dumadi, sebuah lembaga yang konsens dengan dialog budaya membangun peradaban, budayawan Achmad Charris Zubair menyatakan sudah seharusnya Plengkung Gading dibuka lagi untuk akses keluar-masuk masyarakat. “Mestinya harus dibuka, karena menjadi gambaran perjalanan hidup manusia,” ujarnya.
Dia menyarankan, kalaupun penutupan Plengkung Gading dengan alasan teknis demi melindungi bangunan tersebut dari kerusakan, hal itu bisa diantisipasi misalnya dengan cara penerapan akses terbatas. “Jangan pakai kendaraan. Kalau jalan kaki boleh,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Sumbu Filosofi Yogyakarta merupakan penataan tata ruang yang terhubung dengan Gunung Merapi - Tugu - Keraton - Panggung Krapyak. Ini melambangkan perjalanan hidup manusia atau Sangkan Paraning Dumadi serta harmoni antara manusia, alam dan Tuhan.
Charris Zubair menjelaskan, sebagaimana penataan kerajaan-kerajaan di Jawa konsep penataan kota Yogyakarta sebenarnya tidak hanya mengacu Catur Gatra tetapi juga Sangkan Paraning Dumadi. Inilah yang membuat Yogyakarta luar biasa dan berbeda dengan daerah lain. Merujuk catatan sejarah, tidak salah apabila perlawanan terhadap konsep Sangkan Paraning Dumadi sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda.
Disebutkan, Pangurakan sebagai tempat yang seharusnya kosong sekaligus sebagai simbolisasi lepas dari duniawi, ketentuan itu justru ditabrak oleh penjajah Belanda dengan mendirikan bangunan-bangunan yang sekarang menjadi Kantor Pos dan Bank Indonesia.
Persoalannya, lanjut dia, seiring dinamika zaman dan segala sesuatu diukur atas dasar angka-angka, konsep Catur Gatra pun berubah. “Alun-alun sudah dipagari. Hanya pasar dan masjid yang masih berfungsi,” kata Charris Zubair seraya menerangkan dinamika zaman memang tidak bisa dicegah.
Lebih memprihatinkan lagi, sebagian orang menilai Sangkan Paraning Dumadi dianggap sebagai sesuatu yang tidak konkret, padahal sejatinya mengandung nilai dan ajaran yang sangat luhur bahkan disebut sebagai tingkat kecerdasan tertinggi masyarakat Jawa.
Dipandu host Dwijo Suyono selaku Direktur Eksekutif Dumadi, narasumber lainnya yaitu akademisi-sosiolog Dr Arin Mamlakah MA serta Dr (Can) Arya Aryanto SE MM selaku pegiat ekonomi pariwisata, menyampaikan pandangannya seputar Sumbu Filosofi Yogyakarta dari aspek pariwisata dan sosiologi.
Arya Aryanto menyatakan dirinya merasa bangga dengan keberadaan Sumbu Filosofi Yogyakarta. Namun demikian rata-rata para pelaku ekonomi pariwisata menyatakan penutupan Plengkung Gading membatasi ruang gerak aktivitas pariwisata.
“Kami tidak bisa menolak kebijakan, dengan segala keterbatasan kami harus bisa survive. Ya, kita menyesuaikan. Pelaku usaha memang harus terus berpikir agar bisa bertahan dan menggerakkan roda perekonomian,” ungkapnya.
Sebagai pengusaha bisnis oleh-oleh bakpia, Arya menyatakan yang terpenting dari pariwisata sebenarnya bukan sebatas cerita. Itu sebabnya dia menerapkan konsep open kitchen. Wisatawan tidak sebatas membeli bakpia tetapi juga melihat prosesnya. “Ini yang kami kemas sehingga menjadi cerita yang tertanam. Orang datang ke Yogyakarta ingin menikmati, merasakan dan melakukan aktivitas wisata,” katanya.
Sedangkan Arin Mamlakah melihat Sumbu Filosofi Yogyakarta sebenarnya sangat menarik namun di tengah pusaran zaman dan struktur demografi masyarakat Indonesia didominasi Gen Z, internalisasi tata nilai tentang tata ruang Yogyakarta tersebut belum sepenuhnya terserap secara baik.
“Kami coba komunikasi ke generasi muda. Yang mereka tahu berfoto di Tugu Pal Putih, kemudian ke Malioboro dan Alun-alun Kidul. Kandang Menjangan masih ada yang tidak tahu,” katanya.
Pada dialog yang diikuti peserta dari berbagai kalangan termasuk pemerhati seni dan budaya, baik Charris Zubair, Arya Aryanto maupun Arin Mamlakah sepakat, keberadaan Sumbu Filosofi Yogyakarta dengan segala dinamikanya harus memberikan dampak bagi kesejahteraan masyarakat, lahir dan batin.
Post a Comment