Antara Kopi Kekinian dan Literasi Keuangan Mahasiswa
Caption - Dosen Akuntansi Universitas Sanata Dharma sekaligus Mahasiswa PhD Assumption University of Thailand yang menerima beasiswa the United Board Faculty Scholarship Program, Ilsa Haruti Suryandari. (Foto: Ilsa Haruti)
WARTAJOGJA.ID - Awal tahun 2000-an, ketika pertama kali menjadi mahasiswa, perjuangan akademik berarti menelusuri buku-buku tebal di antara rak-rak perpustakaan yang kadang tidak ber-AC dan antrian di tukang fotokopi.
Sebagian besar uang saku habis untuk fotokopi bahan kuliah. Data dan informasi sangat susah didapat, internet ada namun aksesnya lambat dan harganya mahal.
Sekarang, tahun 2025, setelah kembali merasakan jadi mahasiswa, dunia kampus terasa sangat berbeda. Pengetahuan di ujung jari. Tantangan mahasiswa saat ini bukan lagi sekedar biaya fotocopy tetapi godaan kopi dan jajanan kekinian ditambah langganan streaming dan tentu saja ritual mengerjakan tugas di kafe.
Hampir setiap kampus memiliki fasilitas kafe. Terlihat produktif dan estetik di Instagram, tetapi membuat kepala pening di akhir bulan. Pada akhirnya, jalan pintas berupa pinjaman online atau PayLater menggoda menjadi sebuah solusi yang cepat namun penuh risiko.
Setiap generasi mahasiswa memiliki arah kebocoran dompet yang berbeda. Masalah ini tidak lepas dari rendahnya literasi keuangan mahasiswa. Hasil survey OJK menunjukkan bahwa literasi keuangan pada kelompok usia 18-25 tahun baru mencapai 32,1%.
Fenomena ini merupakan sebuah ironi di tengah gencarnya dorongan pemerintah terhadap literasi keuangan. Mahasiswa sebagai bagian dari kelompok intelektual nampaknya belum siap secara finansial.
Mengelola keuangan sejatinya tidak harus serumit menyusun skripsi atau menulis artikel jurnal. Hanya beberapa langkah sederhana untuk membuat dompet lebih tenang. Pertama, biasakan untuk mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran sekecil apapun.
Saat ini pencatatan keuangan bisa menggunakan aplikasi gratis di telepon pintar. Dengan pencatatan, bisa diketahui ke mana saja uang dibelanjakan. Kedua, metode anggaran sederhana 50-30-20 juga dapat digunakan.
50% untuk kebutuhan, 30% untuk gaya hidup dan 20% untuk Tabungan. Ngopi dan ngafe tetap jalan, tetapi tidak mengorbankan anggaran untuk kebutuhan pokok dan kebutuhan akademis. Ketiga, evaluasi berkala perlu dilakukan untuk mengetahui pola keuangan dan juga mencegah kebocoran lebih lanjut.
Pengelolaan keuangan seharusnya menjadi sebuah kebiasaan sederhana yang perlu dilakukan oleh mahasiswa. Walaupun kecil tetapi mahasiswa dapat terhindar dari stress finansial dan menjaga fokus belajar. Karakter disiplin dan bertanggung jawab pun juga akan terbentuk.
Kebiasaan keuangan yang baik juga akan menjadi pondasi generasi muda yang lebih siap menghadapi tantangan ekonomi. Anak muda tidak hanya menjadi konsumen tren, tetapi juga cerdas dalam mengelola keuangan.
Post a Comment