Pakar UMY Soroti Dampak Resiko Pemangkasan Tarif Impor AS Jadi 19%
WARTAJOGJA.ID : Kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat dan Indonesia yang memangkas tarif impor dari 32 persen menjadi 19 persen disambut dengan sikap waspada oleh pengamat ekonomi internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Faris Al-Fadhat, S.IP., M.A., Ph.D. Menurutnya, kebijakan ini memang membuka peluang ekspor yang harus dimanfaatkan, namun di sisi lain juga menyimpan risiko besar bagi industri dalam negeri.
“Kita harus waspada karena ini bagian dari strategi untuk menekan defisit neraca perdagangan Amerika terhadap Indonesia,” ujar Faris saat diwawancarai Humas UMY, Kamis (17/7).
Faris menjelaskan, meski penurunan tarif hingga 19 persen merupakan perkembangan positif dibandingkan tarif sebelumnya, serta masih lebih rendah dari tarif negara-negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia dan Vietnam yang mencapai di atas 40 persen, Indonesia tetap menghadapi tantangan besar di pasar domestik. Terutama dari masuknya produk Amerika dengan tarif 0 persen yang berpotensi menggerus daya saing sektor manufaktur kecil di dalam negeri.
“Secara tidak langsung, kita ‘dipaksa’ membuka pasar bagi produk Amerika. Ini membuat barang-barang dari sana menjadi jauh lebih kompetitif di pasar kita. Padahal, industri lokal belum tentu mampu bersaing secara harga maupun kualitas,” jelasnya.
Faris juga menilai kebijakan ini masih jauh dari prinsip perdagangan yang ideal karena tidak melalui proses negosiasi yang setara. Sehingga, pemerintah harus mengawal agar dampaknya tidak merugikan berbagai industri dalam negeri.
“Idealnya, kerja sama dagang mengacu pada prinsip WTO yang mengatur keadilan antarnegara. Tapi dalam kasus ini, Indonesia tidak berada dalam posisi tawar yang kuat. Kita mengikuti, bukan menegosiasikan,” imbuhnya.
Selain belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Indonesia, Faris juga menyoroti bahwa kesepakatan tersebut masih bersifat tentatif dan baru akan berlaku mulai 1 Agustus mendatang. Mengingat gaya kepemimpinan Trump yang kerap berubah-ubah, keputusan ini masih sangat mungkin mengalami revisi.
“Sejauh ini, baru pernyataan sepihak dari Donald Trump. Kita tunggu bagaimana respons dan langkah resmi dari pemerintah dalam beberapa hari ke depan,” katanya.
Faris juga mengungkapkan bahwa kesepakatan ini tidak datang tanpa syarat. Salah satu klausul penting yang muncul adalah pembelian sekitar 50 unit pesawat Boeing 777 oleh Indonesia, yang menurutnya menunjukkan adanya tekanan ekonomi-politik dalam hubungan dagang tersebut.
“Ini bukan semata-mata relaksasi perdagangan. Ada unsur barter kepentingan, di mana Indonesia didorong untuk membeli produk strategis Amerika,” ujarnya.
Dari perspektif hubungan internasional, Faris menilai posisi Indonesia harus cerdas dan mampu menjaga keseimbangan di tengah rivalitas dua kekuatan besar, Amerika dan China. Jangan sampai keputusan Indonesia untuk terlalu dekat dengan Amerika justru memicu ketegangan dengan China, begitu pula sebaliknya.
“Sekarang kita lihat bagaimana agresifnya Amerika mendorong negara-negara lain masuk ke kubunya dan mengikuti iramanya. Ini menunjukkan adanya persaingan besar antara Amerika dan China. Di satu sisi, Amerika ingin menyeimbangkan perdagangan. Di sisi lain, ia juga ingin tetap kompetitif dengan China. Karena harus diingat, China akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Persoalannya hanya tinggal soal waktu. Dan inilah yang coba diantisipasi oleh Amerika. Indonesia harus berada di tengah-tengah itu,” pungkasnya.
Post a Comment