DPRD DIY Soroti Kesenjangan Pendidikan Yang Picu Banyak Pemuda Yogyakarta Tak Kuliah
WARTAJOGJA.ID : Komisi D DPRD DIY yang membidangi bidang pendidikan dan kesejahteraan masyarakat merasa prihatin angka partisipasi kuliah anak-anak Yogyakarta hari ini sangat rendah alias hanya mencapai 15 persen.
Rendahnya angka partisipasi kuliah warga DIY dipicu karena kemiskinan yang menyebabkan kesenjangan pendidikan.
"Pemerintah perlu melakukan litigasi, kenapa kesenjangan ini bisa terjadi, terlebih pada warga DIY," kata RB Dwi Wahyu B, Ketua Komisi D DPRD DIY, saat konferensi pers di gedung dewan Jalan Malioboro, Rabu (16/7/2025).
Komisi D, lanjut dia, sudah mengusulkan ke Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga (Disdikpora) DIY supaya melakukan deteksi dini. Legislatif juga sudah mendorong Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) sebagai instansi di bawah Disdikpora menganggarkan beasiswa lewat program Kuliah Istimewa.
Persoalannya, kata Dwi, kuotanya ternyata terbatas. “Saya kritisi, kenapa D4 kok tidak S1 sekalian. Kenapa dibatasi hanya untuk beberapa universitas,” ungkapnya.
Sebenarnya DPRD DIY sudah mengusulkan agar BPO dan Disdikpora membuat MoU lebih luas lagi dengan semua universitas di Daerah Istimewa Yogyakarta. “Jangan sampai anak akan kuliah, karena universitas yang dipilih tidak pas, namun karena program kuliah gratis hanya di kampus yang ditunjuk itu, mereka dengan terpaksa menjalani,” tambahnya.
Menurut dia, inilah yang menjadi persoalan bersama. Terjadinya disparitas pendidikan di DIY harus dikaji lebih luas lagi walaupun sudah diketahui kemiskinan salah satu penyebabnya. Dia tidak ingin muncul persoalan klasik ijazah tidak diambil karena tidak mampu.
Merujuk data, Dwi menjelaskan tingkat pendidikan warga DIY didominasi tamatan SD sebesar 22,27 persen disusul tamatan sekolah menengah sejumlah 39 persen. “Selebihnya putus sekolah di tengah jalan,” ucapnya.
Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY pada periode Maret 2024 diketahui pendidikan menempati urutan keempat penyebab kemiskinan di wilayah perkotaan. Padahal, wilayah perkotaan pada umumnya identik dengan akses informasi yang cepat dan gaya hidup berbeda.
Kembali ke Beasiswa Istimewa, lanjut dia, seharusnya program itu tidak dibatasi hanya untuk warga yang tinggal di kantong-kantong kemiskinan. Padahal wilayah di luar kantong kemiskinan banyak terdapat warga miskin. Jangan sampai muncul kesan Beasiswa Istimewa justru menyandera warga miskin.
“Jangan samai kantong kemiskinan menjadi parameter program Beasiswa Istimewa. Menurut saya, jangan main-main dengan persoalan pendidikan di DIY. Kalau pendidikan akan menjadi salah satu program utama di DIY maka pemerintah harus melakukan litigasi kenapa anak-anak Yogyakarta hari ini tidak suka kuliah, karena apa?” tandasnya.
Post a Comment