Program Desa Sehat Beri Rekomendasi Kebijakan Pencegahan Stunting ke Sekretariat Wakil Presiden
WARTAJOGJA.ID—Desa Sikunang, yang terletak di ketinggian 2.088 meter di atas permukaan laut (MDPL) di kawasan Dieng Plateau, tampak lebih ramai dari biasanya karena kunjungan dari Sekretariat Wakil Presiden pada 14 Februari 2025. Kunjungan ini bertujuan untuk memantau percepatan penurunan stunting di Kabupaten Wonosobo. Dalam kesempatan tersebut, tim program Desa Sehat banyak berdiskusi dan memberikan rekomendasi kebijakan peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) kepada tim Sekretariat Wakil Presiden yang hadir.
Desa Sikunang menjadi lokasi kunjungan Sekretariat Wakil Presiden karena program Desa Sehat dianggap sebagai percontohan yang berhasil. Direktur Eksekutif KITA Institute, Eka Munfarida Irfiani, berharap agar program ini dapat direplikasi di daerah lain. Salah satu kegiatan unggulan dari program Desa Sehat, yaitu kelas ibu hamil yang melibatkan suami, telah direplikasi oleh Dinas Kesehatan di lima Puskesmas di Wonosobo.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia, Prof. Dr. Dadan Wildan, M. Hum, menjelaskan bahwa kunjungan ini adalah bagian dari upaya untuk lebih memahami isu stunting. Sekretariat Wakil Presiden telah mengunjungi berbagai wilayah, termasuk Sanggau, Banyumas, dan Wonosobo, untuk melihat langsung implementasi program penurunan stunting di lapangan.
Dari kunjungan-kunjungan ini kami ingin melihat bagaimana realita di lapangan, dan kami ingin merumuskan kebijakan yang lebih baik dan merumuskan stranas penurunan stunting, dan targetnya di 2045 tidak ada lagi stunting atau minimal di bawah 10%,” ujar Dadan.
Setelah berdiskusi dan melihat ragam kegiatan di Desa Sikunang, seperti kelas ibu hamil dan kebun gizi, Dadan cukup terkesan. Banyak Inovasi yang sudah dijalankan oleh pemerintah desa, dengan melibatkan pihak ketiga yaitu Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).
“Kelas Ibu hamil yang melibatkan para suaminya, ini merupakan terobosan baru. Ini penting agar adanya support system mendukung saat ibu hamil, melahirkan hingga 1000 hari pertama kehidupan. Adanya kebun gizi juga ini sangat bagus, dua program ini saya kira ini bisa diterapkan di berbagai daerah di Indonesia,” tambah Dadan.
Para Ibu hamil dan pasangan mendapatkan edukasi kesehatan melalui kelas Ibu Hamil di Desa Sikunang
Walaupun terdapat sejumlah pencapaian dalam peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak, baik yang dilakukan oleh Program Desa Sehat atau pemerintah daerah, namun YAPPIKA-ActionAid mencatat masih ada sejumlah masalah yang perlu dihadapi di tahun 2025.
Hardiyanto, Koordinator Program Desa Sehat, YAPPIKA-ActionAid, mencontohkan adanya kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang menyebabkan pemotongan anggaran di berbagai aspek, termauk di Bidang Kesehatan. Walaupun ada efisiensi anggaran, pemerintah tidak boleh mengorbankan kualitas dan jangkauan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, terutama layanan kesehatan tingkat pertama dan program jaminan kesehatan.
Alokasi anggaran untuk layanan esensial seperti pemeriksaan kehamilan, imunisasi, dan posyandu harus tetap dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah: memperluas jaminan kesehatan ibu hamil dari keluarga miskin, Intervensi Kesehatan Ibu dan Anak Berbasis Komunitas dengan Pemerintah Desa sebagai Leading Sector, serta peningkatan Promosi Kesehatan KIA yang Komprehensif di Tingkat Puskesmas dan Desa.
YAPPIKA-ActionAid dan KITA Institute menyerahkan rekomendasi kebijakan Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak dari program Desa Sehat pada perwakilan Sekretariat Wakil Preesiden yang hadir di desa Sikunang.
Di akhir, Dadan menerima dengan baik rekomendasi kebijakan yang diberikan. Ia mengapresiasi partisipasi masyarakat sipil dalam isu kesehatan ini. Dadan juga menyampaikan, kedepannya ingin mengundang KITA Institute dan YAPPIKA-ActionAid untuk berdiskusi lebih lanjut dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu.
Rekomendasi Peningkatan Kesehatan Ibu Dan Anak Di Indonesia
Kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih menjadi tantangan besar yang memerlukan perhatian serius. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, angka stunting di Indonesia mencapai 21,6%, yang menunjukkan bahwa hampir satu dari lima anak balita mengalami gangguan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis.
Selain itu, Angka Kematian Ibu (AKI) berada pada 205 per 100.000 kelahiran hidup, dan belum mencapai target yang ditentukan, yaitu 183 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2024. Masalah kesehatan pada Ibu Hamil juga cukup tinggi. Data SKI 2023 menyebutkan bahwa 3 dari 10 (28%) ibu hamil mengalami anemia, dan 2 dari 10 (17%) berisiko Kurang Energi Kronik (KEK), yang menimbulkan risiko bagi kesehatan ibu hamil dan tumbuh kembang bayi di kemudian hari.
Salah satu penyebab utama tingginya masalah kesehatan ibu dan anak adalah belum terjangkaunya seluruh ibu hamil dan balita oleh layanan kesehatan dasar, seperti pemeriksaan rutin ibu hamil, imunisasi, dan layanan posyandu. Penyebabnya datang dari dua pihak, baik dari pemberi layanan maupun dari masyarakat sebagai penerima layanan. Sebagai contoh, menurut data BPS 2024, persentase balita yang mendapat imunisasi DPT baru mencapai 85,88%, sementara yang mendapat imunisasi campak lebih rendah, yaitu 72,45%. Data BPS 2024 menunjukkan bahwa baru 78,37% ibu yang memiliki jaminan kesehatan, artinya ada sekitar 26% ibu di Indonesia yang belum memiliki jaminan kesehatan yang memastikan terpenuhinya layanan kesehatan bagi mereka, khususnya bagi yang mendapatkan rujukan atau memerlukan layanan medis di Fasilitas Kesehatan Tingkat 2 yang membutuhkan biaya relatif tinggi.
Selain itu, kecukupan sarana prasarana dan SDM di tingkat layanan kesehatan primer juga belum merata. Masih banyak wilayah di Indonesia yang kekurangan dokter, bidan, perawat, dan tenaga kesehatan lain. Selain mengurangi jangkauan layanan kesehatan, hal ini juga membuat kegiatan promosi kesehatan sebagai upaya pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah kurang optimal.Di lain sisi, promosi kesehatan yang efektif menjadi sangat krusial di Indonesia saat ini. Kekurangan gizi pada anak dan ibu hamil yang terjadi tidak semata-semata disebabkan oleh faktor ekonomi. Meskipun data kemiskinan diperdebatkan, angka prevalensi stunting jauh melampaui angka kemiskinan. Problem besarnya ada pada pengetahuan dan kesadaran keluarga untuk memenuhi kebutuhan kesehatan.
Dalam program Desa Sehat yang dilaksanakan YAPPIKA-ActionAid bersama KITA Institute dan YPSM di Wonosobo dan Jember, ditemukan bahwa kurang dari 15% balita yang menderita underweight dan stunting berasal dari keluarga miskin. Sementara itu, promosi kesehatan seperti edukasi, sosialisasi, dan pendampingan masih kurang dan belum efektif.
Sebagai contoh, sebagian besar kegiatan kelas ibu hamil belum dilakukan rutin di setiap wilayah di Indonesia. Padahal, kegiatan ini sangat penting untuk memastikan pengetahuan dan keterampilan ibu hamil dan keluarga dalam menjaga kesehatan kehamilan dan mengurus bayinya kelak. Sebagian besar edukasi yang berjalan juga baru menjangkau ibu, baik sebagai ibu hamil maupun ibu dari balita, belum menjangkau keluarga seperti suami dan orang tua sebagai sistem dukungan yang sangat penting bagi ibu.
Persoalan kesehatan ibu dan anak, seperti stunting, bukan hanya masalah kesehatan semata, melainkan juga masalah sosial yang membutuhkan intervensi sosial yang komprehensif. Di sinilah peran pemerintah desa sebagai satuan pemerintahan terkecil dan terdekat dengan keluarga menjadi krusial. Pemerintah desa memiliki potensi besar untuk melakukan intervensi langsung dalam meningkatkan kesadaran dan perubahan perilaku di tingkat keluarga. Namun, peran pemerintah desa dalam kesehatan ibu dan anak masih belum optimal, ditandai dengan kurangnya inovasi, alokasi anggaran yang belum memadai, dan koordinasi yang kurang baik antara puskesmas dan pemerintah desa sebagai ujung tombak kesehatan di Indonesia.
Meskipun terdapat kebijakan nasional yang menjadikan penurunan stunting sebagai salah satu prioritas penganggaran di desa, implementasinya belum berjalan efektif. Sebagai contoh, riset yang dilakukan oleh program Desa Sehat di desa-desa di Kabupaten Jember pada tahun 2022-2023 menemukan bahwa anggaran untuk kesehatan ibu dan anak tidak mencapai 3% dari seluruh APB Desa. Minimnya anggaran ini juga dibarengi dengan tidak adanya rencana kerja yang baik, sehingga kegiatan menjadi tidak tepat sasaran dan kurang memberikan dampak nyata.
Tantangan-tantangan di atas menjadi lebih berat dengan keluarnya kebijakan Pemerintah Indonesia yang melakukan efisiensi anggaran di tahun 2025. Kebijakan ini jelas berdampak pada sektor kesehatan, termasuk program-program yang terkait langsung dengan layanan masyarakat. Kementerian Kesehatan mengalami pemangkasan anggaran belanja yang mencapai Rp 19,6 triliun, yang berpotensi memengaruhi target sasaran program pemeriksaan kesehatan gratis serta pengadaan obat dan vaksin.
Efisiensi ini juga berdampak pada pengurangan subsidi iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri kelas III, serta program beasiswa dan bantuan pendidikan bagi tenaga kesehatan. Pemangkasan anggaran ini dikhawatirkan akan mengurangi akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang memadai, termasuk obat-obatan dan vaksin, serta pemerataan tenaga kesehatan terutama dokter spesialis. Dengan demikian, efisiensi anggaran pemerintah pada tahun 2025 berpotensi memperburuk masalah kesehatan ibu dan anak yang telah ada.
REKOMENDASI
1. Prioritaskan Pelayanan Kesehatan Masyarakat dalam Efisiensi Anggaran: Pemerintah perlu memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak mengorbankan kualitas dan jangkauan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, terutama layanan kesehatan tingkat pertama dan program jaminan kesehatan. Alokasi anggaran untuk layanan esensial seperti pemeriksaan kehamilan, imunisasi, dan posyandu harus tetap dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.
2. Perluas Jaminan Kesehatan untuk Ibu Hamil dari Keluarga Miskin: Pemerintah perlu memperluas cakupan jaminan kesehatan, khususnya bagi ibu hamil dari keluarga miskin, untuk memastikan bahwa semua ibu hamil mendapatkan akses layanan kesehatan yang sesuai standar. Hal ini dapat dilakukan melalui subsidi atau program khusus yang menargetkan kelompok rentan ini.
3. Intervensi Kesehatan Ibu dan Anak Berbasis Komunitas dengan Pemerintah Desa sebagai *Leading Sector*: Intervensi kesehatan ibu dan anak, termasuk upaya penurunan stunting, harus dilakukan secara terintegrasi dan berbasis komunitas, dengan pemerintah desa sebagai leading sector. Perlu disusun rencana kerja Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Desa yang mengintegrasikan intervensi yang dilakukan oleh pemerintah desa dan puskesmas. Rencana kerja ini harus disusun berdasarkan data dan kebutuhan lokal, serta melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.
4. Tingkatkan Promosi Kesehatan KIA yang Komprehensif di Tingkat Puskesmas dan Desa: Pemerintah perlu meningkatkan ragam, frekuensi, dan anggaran untuk promosi kesehatan Kesehatan Ibu Anak dan Remaja (Kesehatan Reproduksi) di tingkat puskesmas dan desa. Promosi kesehatan ini tidak hanya ditujukan kepada subjek kesehatan seperti ibu, anak, dan remaja, tetapi juga kepada suami, orang tua, dan anggota keluarga lainnya yang merupakan bagian dari sistem dukungan dan aktor pengambilan keputusan dalam keluarga. Materi promosi kesehatan harus disesuaikan dengan budaya dan bahasa lokal, serta disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang efektif.
Post a Comment