News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Seniman dan Budayawan Gelar Ritual Lampah Latri di Malioboro Yogyakarta

Seniman dan Budayawan Gelar Ritual Lampah Latri di Malioboro Yogyakarta



WARTAJOGJA.ID : Puluhan warga umum, seniman dan budayawan dari perwakilan 14 komunitas melakukan ritual budaya Lampah Latri di Jalan Malioboro hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Rabu petang 12 April 2023.

Dalam ritual ini mereka berjalan perlahan dan membisu, sembari memanjatkan doa di dalam hati masing masing secara khusyuk. 

Rombongan dipimpin sejumlah pemuka berbaju sorban pandita serba putih yang terus menabur bunga sesaji di sepanjang jalan. 

Sebelum ritual, para seniman dan budayawan yang bernaung dalam Forum Keberagaman Budaya Yogyakarta (FKBY) itu lebih dulu bersama sama menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan gedung DPRD DI Yogyakarta.

"Ritual Lampah Ratri ini kami gelar bertepatan dengan malam selikuran atau malam ke 21 bulan suci Ramadan," kata inisiator aksi ritual Lampah Latri Risang Yuwono usai ritual.

Risang menuturkan gabungan masyarakat peduli budaya itu melakukan ritual budaya Lampah Latri untuk memohon kedamaian dan ketentraman di Kota Yogyakarta. Terutama soal penataan kota dan kebijakan yang dilakukan.

Dalam aksi yang menyedot perhatian ribuan warga yang sedang menikmati malam di Malioboro itu, Risang mengungkap sejumlah latar belakang ritual itu.

"Malam ini, kami secara khusus juga mengenang hari lahir Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan HB (Hamengku Buwono) IX," kata Risang merujuk tanggal 12 April sebagai kelahiran HB IX pada 111 tahun silam.

"Kami perlu mensyukuri bahwa Yogyakarta pernah memiliki sosok pemimpin bangsa yang berjiwa merdeka, yang bisa mengayomi seluruh rakyatnya," kata Risang.

Risang pun menuturkan, sosok HB IX, telah menjadi suri tauladan terutama dalam upayanya menjaga nilai nilai kebudayaan terus hidup di Yogyakarta.

"Hari-hari ini, kami seperti kehilangan sosok seperti itu," kata Risang. Ia mencontohkan, Malioboro yang dulu kental dan semarak dengan ragam kesenian dari berbagai penjuru, berubah menjadi kawasan lebih megah dan tertata. 

Perubahan wajah Malioboro itu belum sepenuhnya diikuti dengan spiritnya menjadi rumah bagi segala aktivitas kesenian dan budaya.

"Misalnya saja, kami cukup kecewa pelayan teknis yang menjaga Malioboro, yang saat ini tidak memfasilitasi pentas angklung di pinggir jalan seperti dulu," ujarnya.

Jika dulu orang melewati Malioboro biasa mendengar pengamen angklung bermain menghibur wisatawan dari pinggiran jalan jalur lambatnya, kini hal hal semacam itu sudah tidak ada lagi.

"Makanya, ritual Lampah Ratri ini kami gelar karena muncul kegelisahan-kegelisahan seperti itu," kata Risang.

Adapun Tim Aprianto selaku anggota FKBY yang juga turut dalam ritual itu mengatakan menjaga Yogyakarta seperti menjaga identitas kebangsaan nasional.

"Yogya sebagai taman kebudayaan Indonesia, sangat tidak relevan jika dalam pengembangan tata kota, tata ruang manusia dan geraknya didekati dengan spirit-spirit kapitalistik," ujarnya.

Konsep kapitalistik semacam itu, kata Aprianto, tidak sejalan dengan jargon yang juga diusung sebagai falsafah Keraton yakni Memayu Hayuning Bawono.

"Maka dalam ritual ini kami berdoa dan berupaya, menggaungkan kembali marwah Sri Sultan Hamengku Buwono IX yakni Tahta untuk Rakyat," kata dia.

"Sehingga aktivitas seni budaya perlu dipandang bukan sekedar produk, tapi ini sebuah nafas kehidupan spirit yang menghidupi Yogya," ungkapnya. (Cak/Rls)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment