News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Di Yogya, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti Soroti Dinamika 2024 dan Oligarki Ekonomi

Di Yogya, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti Soroti Dinamika 2024 dan Oligarki Ekonomi


Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menjadi Keynote Speech FGD “Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Mengembalikan Kedaulatan Rakyat” Kamis (23/6/2022)

WARTAJOGJA.ID : Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menjadi Keynote Speech FGD “Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Mengembalikan Kedaulatan Rakyat” Kamis (23/6/2022), di Kantor Sekretariat DPD RI DIY. 

Dalam kesempatan itu LaNyalla menyatakan siapa pun kandidat calon presiden (capres) serta calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, sulit terlepas dari peran oligarki ekonomi.

“Oligarki ekonomi yang membiayai proses munculnya pasangan capres dan cawapres itu akan menuntut balas agar kebijakan dan kekuasan berpihak kepada kepentingan mereka,” ujarnya.

Di hadapan narasumber diskusi yaitu Prof Dr Sofian Effendi, Zainal Arifin Mochtar, Prof Dr Kaelan serta Prof Siti Chamamah Soeratno maupun peserta yang datang langsung di lokasi diskusi atau melalui zoom, 
LaNyalla mengungkapkan siapa pun calon presiden 2024 selama oligarki ekonomi ikut mendesain dan membiayai, maka janji-janji manis capres itu tidak akan pernah terwujud.

Menurut dia, pertemuan antara oligarki ekonomi dan oligarki politik itu untuk mengatur dan mendisain siapa pemimpin nasional yang akan mereka mintakan suara dari rakyat melalui demokrasi prosedural yang disebut sebagai pilpres.

“Oligarki ekonomi akan terlibat membiayai semua proses itu mulai dari biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun koalisi parpol hingga biaya pemenangan proses pilpres,” ucapnya.

Dia menambahkan, partai politik (parpol) menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. Parpol melalui fraksi di DPR RI yang memutuskan undang-undang yang mengikat seluruh warga negara.

Sebaliknya DPD RI sebagai wakil dari daerah, golongan-golongan serta entitas non-partisan tidak memiliki ruang menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini.


Faktanya, lanjut dia, sejak amandemen UUD 1945 hingga hari ini entitas non-partisan terpinggirkan. Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik.

Inilah yang menghasilkan the winner takes all. Partai-partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen. Mereka juga bersepakat membuat undang-undang yang memberi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
“Lengkap sudah dominasi dan hegemoni partai politik untuk mengusung vox populi dengan cara memaksa suara rakyat dalam pilpres terhadap pilihan terbatas yang telah mereka tentukan,” paparnya.

Sebagai Ketua DPD RI LaNyalla sudah berkeliling ke 34 provinsi dan lebih dari 300 kabupaten/kota. “Saya bertemu langsung stakeholder di daerah mulai dari pejabat pemerintah daerah hingga elemen masyarakat, baik itu akademisi, agamawan, pegiat sosial dan kerajaan nusantara,” jelasnya.

Dari situ dia menemukan persoalan yang hampir sama di setiap daerah yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan. “Ini menurut saya persoalan fundamental bangsa ini karena tidak pernah diselesaikan dengan pendekatan yang kuratif dan karitatif, tidak pernah bisa diselesaikan dengan pendekatan parsial dan sektoral,” tambahnya.

Dia menilai, perubahan arah perjalanan bangsa ini sejak amandemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag, sebagai pemandu arah perjalanan bangsa.

“Bahkan Wakil Presiden keenam Pak Try Sutrisno menyebut amandemen saat ini bukan sebagai peristiwa amandemen tetapi penggantian konstitusi, karena yang terjadi dalam amandemen empat tahap itu sistem tata negara Indonesia berubah total,” tandasnya.

Menurut dia, amandemen tersebut jelas melanggar prinsip adendum karena dilakukan secara besar-besaran. “Kalau kita bandingkan dengan amandemen yang dilakukan Amerika Serikat dan India, di Indonesia adalah paling masif,” terangnya.

Sebagai perbandingan, konstitusi Amerika Serikat terdiri dari 4.500 kata, lalu dilakukan amandemen 27 kali yang hanya menambah 2.500 kata. Konstitusi India terdiri dari 117 ribu kata, dilakukan amandemen 104 kali hanya menambah 30 ribu kata.

Sedangkan UUD 1945 asli dari sekitar 1.500 kata dilakukan amandemen empat tahap menjadi 4.500 kata yang secara substansi juga berbeda dengan aslinya, artinya terjadi perubahan besar-besaran yang tidak dilakukan dengan cara adendum.
“Inilah yang disebut kecelakaan konstitusi sehingga hari ini partai politik menjadi penentu tunggal arah perjalanan bangsa ini,” ujarnya.

Merespons hal itu, LaNyalla menyatakan dirinya telah memutuskan bertindak dan berpijak sebagai negarawan sehingga tidak melihat persoalan ini dalam perspektif sektoral.

“Bagi saya, persoalan konstitusi ini tidak boleh hanya direduksi terbatas pada penguatan peran kelembagaan DPD RI saja tetapi harus lebih fundamental dari itu. Saya bisa saja egois, dan hanya mendorong penguatan DPD RI melalui gagasan amandemen kelima. Tapi sebagai negarawan saya harus adil sejak dalam pikiran. Harus jernih sejak dari hati, dan harus memadukan akal, pikir dan zikir,” paparnya.

Mengingat persoalan ini menyangkut hajat hidup orang banyak, menurut dia, kedaulatan rakyat sebagai pemilik sah negara ini. Persoalan inilah yang menimbulkan ketidakadilan dan kemiskinan struktural sehingga menyebabkan negara ini tidak bisa mewujudkan hakikat dari cita-citanya yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

“Tidak ada pilihan bagi saya untuk terus mendorong kesadaran seluruh elemen bangsa bahwa kita harus kembali ke Pancasila, kita harus kembalikan konstitusi negara ini kepada nilai-nilai Pancasila yang tertulis di dalam naskah pembukaan konstitusi kita,” tegasnya.

Baginya, jalan terbaik adalah harus kembali ke sistem demokrasi yang sesuai dengan watak dasar dan DNA asli bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dan disusun oleh pendiri bangsa kita.
Demokrasi itu memiliki ciri utama semua elemen bangsa yang berbeda-beda ini harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan yang berada di dalam sebuah lembaga tertinggi di negara ini. (Cak/Rls) 

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment