News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Ujaran Kebencian Mudah Tumbuh di Media Sosial

Ujaran Kebencian Mudah Tumbuh di Media Sosial




Purworejo – Ujaran kebencian atau hate speech merupakan tindakan menyebarkan rasa kebencian dan permusuhan yang bersifat SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Bisa juga berarti ujaran menghina yang menargetkan karakteristik dari suatu kelompok tertentu, misalnya etnis, (aliran) agama, gender, warna kulit, disabilitas maupun orientasi seksual.

Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unsri Palembang, Rindang Senja Andarini, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (12/10/2021), sempat mempertanyakan kenapa ujaran kebencian mudah tumbuh di media sosial.

“Kasus ujaran kebencian marak di media sosial, berdasarkan data Kementerian Kominfo menunjukkan sejak 2018 terdapat 3.640 kasus ujaran kebencian berbasis SARA,” ujarnya seperti dilansir dalam salah satu media.

Menurut dia, ujaran kebencian bisa berbentuk penghinaan, ancaman atau stigmatisasi terhadap kelompok tertentu. Rendahnya kesadaran diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuhnya ujaran kebencian.

Seorang ahli, Festinger pada 1952 memunculkan istilah deindividuation yaitu hilangnya kesadaran akan diri sendiri (self-awareness) dalam situasi kelompok yang memungkinkan anonimitas.

Karena itu, lanjut dia, lebih banyak orang yang memilih untuk diam meskipun mereka paham bahwa konten yang dilihat di media sosial adalah bentuk ujaran kebencian.

Mengacu riset yang dilakukan Aulia Ash-Shidiq dan Pratama (2020) menunjukkan secara umum masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi bahwa membagikan konten berisi ujaran kebencian adalah hal yang tidak benar.

Namun, ketika melihat ujaran kebencian di media sosial yang ditujukan untuk orang/kelompok di luar kelompoknya, mereka cenderung untuk mendiamkannya saja.

Itu sebabnya diperlukan digital skills untuk mengatasi hate speech sehingga memiliki kemampuan berpikir kritis mengevaluasi konten, memilih dan memilah konten sebelum sharing.

“Kebebasan berekspresi dengan sendirinya melahirkan kewajiban bersama untuk saling menghormati kebebasan masing-masing,” ucapnya.

Narasumber lainnya, Setyo Mulyaningsih selaku Kepala SMAN 10 Purworejo, menyatakan media sosial telah mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang bergaya hidup modern.
Budaya digital adalah sebuah konsep yang menggambarkan gagasan bahwa teknologi dan internet secara signifikan membentuk cara berinteraksi, berperilaku, berpikir dan berkomunikasi sebagai manusia dalam lingkungan masyarakat.

Memang, kata dia, budaya digital merupakan prasyarat dalam melakukan transformasi digital, karena penerapan budaya digital lebih kepada mengubah pola pikir (mindset) agar dapat beradaptasi dengan perkembangan digital.

Dipandu moderator Bobby Aulia, webinar bertema “Melawan Ujaran Kebencian di Dunia Maya” ini juga menghadirkan narasumber Arif Hidayat (Dosen Universitas Negeri Semarang), Ari Ujianto (Pegiat Advokasi Sosial), Ganjar Pranowo (Gubernur Provinsi Jawa Tengah) sebagai Keynote Speech dan Gina Sinaga (Public Speaker & Founder Wellness Worthy) sebagai Key Opinion Leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment