News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Komunikasi Digital yang Sehat, Jaga Toleransi dan Kuatkan Keragaman Budaya

Komunikasi Digital yang Sehat, Jaga Toleransi dan Kuatkan Keragaman Budaya





Jepara: Mengapa sekarang kreator konten banyak dipilih jadi profesi kaum muda? Yup, karena kaum muda suka hal yang baru dan beda dari yang sudah ada. Suka inovasi. Dan agar makin banyak ditonton, konten-konten menarik di medsos butuh hal yang unik dan berbeda serta membawa semangat kebaruan di ruang publik. Untuk membuatnya memang butuh riset. Mengapa perlu riset? 

Rizqika Alya Anwar, fasilitator Kaizen Room yang juga Head of Operator PT Cipta Manusia Indonesia, punya jawaban. Kata dia, riset diperlukan agar konten yang dihasilkan menarik dan click able. Mudah diklik dan mengundang perhatian publik untuk dinikmati. Nah, agar menarik, kata Rizqika, kontennya mesti selaras dan efektif memenuhi kebutuhan informasi publik. Biar pas dengan kebutuhan kita, mesti punya kecakapan digital untuk memahami keberagaman pengguna media komunikasi publik di era digital, suatu hal yang perlu kita kuasai. 

”Kita tahu, pengguna Facebook, Instagram, Youtube, karena tujuannya berbeda maka secara demografi populasinya juga beragam. Untuk memanfaatkan media sosial, agar efektif, kita pahami polanya agar feasible dan sesuai kebutuhan kita dan jadi kekuatan komunikasi publik untuk menggerakkan kehidupan sosial ekonomi dalam suatu bangsa,” tutur Rizqika. 

Jadi, lanjutnya, hanya konten yang penting dan bermanfaat yang akan diklik oleh netizen. Sehingga, jangan lagi banjiri medsos dengan konten-konten sampah yang tak bermanfaat. ”Buatlah konten yang bermakna, positif, dan bermanfaat buat masyarakat,” urai Rizqika saat tampil dalam webinar literasi digital program Indonesia Makin Cakap Digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Jepara, Jateng, 9 Juli 2021.

Memahami pentingnya pola komunikasi yang tepat untuk menjadi sarana menyatukan keberagaman masyarakat suatu bangsa penting dipahami oleh semua pihak. Tak terkecuali Wapres Amerika Serikat Kemala Harris. Ia pernah menyampaikan, sebagaimana dikutip pembicara webinar lainnya, M. Yunus Anies, ”Our diversity is our streght and our unity is our power”. 

Kemala yakin, keberagaman kita merupakan kekuatan dan persatuan kita juga mesti menjadi kekuatan yang menyemangati kita bersama dalam hidup berbangsa. Untuk menjadi kekuatan, butuh pola komunikasi yang terukur dan bijak. ”Selalu kita jaga beragam adat budaya dalam konteks Indonesia, juga beragam bahasa daerah agar dilestarikan. Tujuannya, selalu menyatukan keindonesiaan kita. Bisa bersama berbagi dan berkolaborasi yang sehat dan bermanfaat untuk semua lapisan masyarakat,” terang Yunus Anies, pengajar Ilmu Budaya di Universitas Negeri Sebelas Maret Solo.

Risqika dan Yunus Anies tampil dalam webinar literasi digital dengan tema menarik: ”Komunikasi Publik yang Sehat di Era Digital”, yang dipandu moderator Nabila Nadjib, bersama dua pembicara lain: Joko Priyono, penggerak literasi digital Jateng, dan Budi Wilandari, konselor psikologi ibu dan anak, serta Nessa Sylvyana, arsitek yang tampil sebagai key opinion leader.

Yunus menambahkan, komunikasi di medsos pada era digital dampaknya sangat masif, meluas dan dinikmati banyak orang tanpa batas. Untuk itu, di era digital, kemasan komunikasinya sangat penting. Dalam konten film misalnya, bahasa perlu dipertimbangkan. Termasuk pemakaian bahasa daerah. Dengan begitu, pesan komunikasi yang sehat akan terjaga, bahasa daerah juga terjaga, dan kita semakin memperkokoh keindonesiaan lewat film,” urai Yunus.

Yang juga penting, adalah merawat toleransi dan berhati-hati melontarkan komentar di dunia digital. Apa yang kita pikir bagus, ternyata bisa mengundang kecemasan buat warga lain. Jadi, bijaklah melontarkan pikiran dan pandangan di ruang publik lewat beragam medsos. ”Jangan sampai apa yang kita sampaikan malah memicu ketidaknyamanan publik. Jaga jangan sampai terlibat atau bahkan jadi korban bullying,” kata pembicara berikut, Budi Wulandari.  

Budi mengutip hasil riset KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pada 2020, tercatat sebanyak 40 persen anak di bawah 17 tahun, khususnya perempuan, pernah mengalami cyber bullying, dilecehkan secara digital, baik itu diejek fisik maupun teror psikologi. Bahkan membuat 5 dari 10 anak menjadi tak bisa tenteram belajar dan tidak tenang keluar rumah karena gangguan bully digital itu. 

Jadi? ”Mari jaga jari kita untuk tetap sopan dan positif dalam bermedsos. Dengan begitu, peran media makin sehat, manfaat dan menjaga ketenteraman bermasyarakat. Bukan sebaliknya. Bukankah medsos dan teknologi digital dibuat untuk membuat hidup kita lebih baik dan bahagia?” tutup Budi Wulandari, sembari melempar tanya. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment