News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Internet Bukan Sumber Utama Untuk Belajar Agama

Internet Bukan Sumber Utama Untuk Belajar Agama




Pati - Belajar agama menggunakan media sosial bukan suatu hal baru di era digital, bahkan menjadi hal lumrah karena kemudahan dan banyaknya sumber yang bisa dipilih. Meski demikian tidak semua informasi keagamaan bisa diambil begitu saja sebagai pedoman. Hal ini dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI untuk masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (12/8/2021).

Kegiatan diskusi tersebut merupakan bagian dari program literasi digital yang dicanangkan oleh Presiden RI Joko Widodo pada Mei 2021 sebagai upaya mendukung percepatan transformasi digital. Dengan menanamkan empat pilar literasi digital: digital culture, digital ethics, digital skill, dan digital safety, masyarakat Indonesia diharapkan dapat meningkatkan kecakapan penggunaan dan pemanfaatan teknologi. 

Diskusi hari ini dipandu oleh Nadia Intan (presenter) sebagai moderator, dan diisi oleh empat pemateri yang cakap pada bidangnya. Yaitu Yunadi Ramlan (pengamat sejarah dan budaya), Rino Ardhian Nugroho (kepala kantor urusan internasional Universitas Sebelas Maret), Suyanto (pengawas Madrasah kantor Kemenag Grobogan), dan Ahmad Faridi (perwakilan kanwil Kemenag Jawa Tengah). Selain itu Anunk Aqeela (fashionpreneur) juga hadir sebagai key opinion leader. 

Mengawali diskusi, Yunadi Ramlan mengatakan media sosial menjadi salah satu referensi dalam menyampaikan dan mempelajari agama. Tentunya jika bisa menggunakannya dengan baik akan memberikan manfaat, namun jika tidak terlalu memahaminya justru bisa menjadikan hal yang baik menjadi salah. 

Di era digital mempunyai permasalahan yang perlu disikapi dengan tepat. Internet memberikan informasi yang sangat banyak menimbulkan limbah informasi dan bisa membuat pengguna bingung. Industri informasi di era digital menuntut kecepatan yang dapat menimbulkan kesalahan. Di sisi keamanan, gerak digital pengguna dalam hal apapun terekam dalam data sehingga perlu memahami dunia digital agar tidak lengah. 

Dakwah di era digital memberikan eksistensi yang dapat dikenal secara luas, melalui konten audio visual yang lebih menarik kalangan muda, serta melebarkan jangkauan dakwah secara global. Namun, sumber dari internet tidak lantas menjadi sumber utama dalam belajar agama. Mengutip Oemar Mita, belajar agama hanya pada buku atau audio saja itu mempunyai kemungkinan pemahaman yang salah berbeda dengan mengikuti kajian secara langsung. 

"Belajar agama di media sosial harus memahami kata kuncinya dan melihat hasil referensi atau rujukan yang dihasilkan. Lalu bandingkan sumber pemahaman agama dengan meluaskan wawasan dan meningkatkan toleransi beragama. Jangan merasa paling benar dan bertanyalah pada guru agama untuk memastikan pemahaman kita benar," jelas Yunadi. 

Belajar agama saat ini bisa dijangkau mellui Youtube, podcast dan kanal audio dan video lainnya. Masalahnya adalah daya sebarnya yang luas, dialog yang satu arah, secara emosional berbeda dengan belajar agama dengan menghadiri kajian secara langsung. Banyaknya pilihan membuat kita cenderung memilih atau mempelajari agama pada bidang yang diinginkan bukan yang dibutuhkan. 

"Di kanal video, perilaku pendakwah bisa berbeda dengan perilaku kesehariannya.  Kesalahan penampilan bisa diperbaiki di ruang edit, perencanaan program melalui narasi yang sudah disusun untuk kepentingan konten. Sebenarnya kalau belajar ilmu agama tanpa seorang guru, bisa tersesat. Maka jadikanlah informasi di internet sebagai sumber pendukung dan memperkuatnya dengan sumber utama melalui guru atau orang yang punya kapasitas pemahaman agama yang lebih baik," tutupnya.

Sementara itu Rino Ardhian Nugroho menambahkan isu keagamaan kerap dijadikan tameng dalam menyebarkan hoaks, maka saat belajar agama di media sosial kita harus meningkatkan wawasan literasi digital juga. Meningkatkan kapasitas agar ketika menemukan hal yang melenceng bisa kita ketahui. Saling peduli dengan mengisi kekurangan dari berita bohong dengan informasi yang mengandung fakta. Serta berpartisipasi dan berkolaborasi membuat konten yang positif dan kreatif. 

Sedangkan dari segi keamanan digital pengguna diharapkan mampu memastikan aktivitas di dunia digital dilakukan secara aman dan nyaman. Setidaknya ada lima hal yang harus dilakukan yaitu bagaimana mengamankan perangkat digital dan identitas digital, waspada penipuan digital, paham dengan rekam jejak digital yang ditimbulkan dari aktivitas yang dilakukan, juga mengetahui keamanan digital bagi anak.

"Proteksi diri dan mengamankan perangkat digital dengan memasang kata sandi, fingerprint atau face authentication. Dan memproteksi perangkat lunak dengan fitur find my device, back up data, memasang antivirus, enkripsi full disk, dan shreder. Keamanan perangkat digital penting agar tidak terlibat masalah di lain hari," jelas Rino. 

Proteksi identitas digital dengan memasang password yang kuat dan berbeda di setiap akun. Tidak asal klik link tak dikenal agar tidak terjebak malware. Hindari memberi dan publikasi data pribadi, tidak menggunakan wifi publik untuk transaksi finansial. Proteksi tersebut sekaligus untuk mencegah masuk dalam perangkap penipuan digital yang bisa berbentuk apa saja. 

Yang perlu diperhatikan lagi adalah membuat jejak digital yang baik. Memghapus riwayat pencarian saat berselancar di internet untuk menghindari penyalahgunaan data. Jejak unggahan konten, komentar, dan geo tagging di media sosial menjadi informasi yang seharusnya dijaga dengan baik agar jejak digital yang ditinggalkan tidak menimbulkan masalah.  

"Belajar agama pun tetap harus menjaga kenyamanan di ruang digital dengan menjauhkan diri dari konten radikalisme. Tidak mengklaim kebenaran, mudah mengkafirkan, bertutur kasar dan emosional, serta tidak berburuk sangka," jelasnya. 

Di dunia digital kita perlu mengenali ciri radikalisme dan aliran ekstrem. Lalu ikut berpartisipasi melawan persebaran radikalisme, intoleransi, dengan berkolaborasi membuat konten yang positif. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment