News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Boleh Kau Guncang Dunia dengan Smartphonemu. Jangan Lupa Tetap Lestarikan Budayamu

Boleh Kau Guncang Dunia dengan Smartphonemu. Jangan Lupa Tetap Lestarikan Budayamu




Magelang: Dalam satu pidatonya yang populer, Bung Karno, presiden pertama RI,  pernah menyampaikan, ”Berikan aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia.” Kalau saja saat ini Bung Karno masih ada, pidato tersebut rasanya mesti dikoreksi, ”Beri aku 10 smartphone, maka akan kuguncang dunia.” 

Tidak berlebihan. Saat ini, dengan kecanggihannya, smartphone – apalagi kalau berada di tangan pemuda milenia – akan semakin mudah mengguncang dunia dengan beragam aktivitas dan kreativitas digitalnya untuk memajukan bangsa. Itulah kalimat pembuka yang disampaikan M. Yunus Anies, dosen Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, saat membahas topik ”Menjaga Warisan Budaya, Melalui Penggunaan Teknologi Digital” dalam webinar literasi digital gelaran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kota Magelang, 7 Juli 2021.  

Dampak transformasi digital memang dahsyat. Bukan hanya mengubah perilaku kehidupan manusia. Tapi banjir informasi yang dihadirkan beragam media sosial di banyak ragam aplikasi digital membuat hadirnya tsunami informasi yang tak terbendung. 

”Kita mesti bijak dan cerdas menyambut hadirnya tsunami informasi, karena kalau tak hati-hati bisa merusak tatanan beragam warisan budaya kita yang adiluhung. Bukan hanya warisan fisik seperti Borobudur atau Mendut, tapi juga pertunjukan seni adiluhung penuh pesan budaya seperti wayang dan karya seni lain seperti batik dan keris,” kata Yunus Anies.  

Terkait itu, lanjut Yunus, digitalisasi mestinya menjadi sarana melestarikan dan mendokumentasikan warisan budaya. ”Jadi mestinya boleh para pemuda milenia mengguncang dunia dengan karya lewat smartphone, tapi jangan lupa: ayo jaga dan lestarikan budaya luhur kita dengan sarana teknologi digital itu,” ujar Yunus Anies mewanti-wanti peserta webinar yang merupakan bagian dari program ”Indonesia Makin Cakap Digital”.

Pada sesi berikut, pembicara lain: Dr. Lestari Nurhajati, Wakil Rektor Institut Komunikasi Bisnis LSPR Jakarta, mengaku ikut risau melihat banyak generasi muda sekarang yang kurang memberikan penghargaan dan etika terhadap warisan budaya luhur bangsa. Lestari mengatakan, ia belum lama beroleh info kalau Kampung Baduy Dalam di Banten ternyata bisa menangkal masuknya Covid-19 hingga masuk kategori kampung yang zero kasus terpapar. 

”Kuncinya karena adat budaya yang mengatur keluar masuknya orang asing ke kampung itu sangat prudent. Kehati-hatian dijaga betul. Termasuk, larangan terhadap warga dari luar memotret mereka dan isi Kampung Baduy Dalam. Itu pamali, pantangan budaya yang mesti dihormati,” cerita Lestari pada ratusan peserta webinar dari seantero Kota Magelang, yang menikmati diskusi dari rumah secara serius dan santai. ”Boleh kok ikut webinar sembari makan gethuk trio atau wajik,” ledek Lestari yang orang Suroboyo tapi suka cemilan Magelang itu sambil tergelak. 

Masalahnya, ini yang membuat Lestari prihatin, banyak Youtuber atau kreator konten – demi subscribe dan follower – yang memamerkan karya foto dan video kampung dan wajah orang Baduy di rumahnya dalam beragam postingan digital tanpa melindungi privasi mereka. Jelas, itu melukai privasi dan tradisi mereka. 

Dampaknya serius. ”Kalau mereka tahu bagian rumah dan anaknya difoto dan dipublikasikan, mereka mesti membuat upacara bersih kampung yang cukup menguras biaya. Kecuali kalau difotonya saat warga Baduy Dalam itu sudah keluar kampung atau malah sedang ke kota, itu enggak apa-apa. Jadi, hargai hak privasi budaya yang mereka jaga dengan betul,” pesan Lestari yang juga aktivis Japelidi (Jaringan Pegiat Literasi Digital) itu.

Lestari menambahkan, etika digital mestinya dijaga untuk menyelamatkan warisan tradisi budaya kita. Jepang sejak dulu menjaga privasi personal warganya di dunia digital. Pemerintah mengatur kalau wajah muka orang di atas 17 tahun di Jepang kalau ditampilkan di media massa, apalagi di konten digital yang disebar ke seluruh dunia, mesti diblur. Tak boleh ditampilkan utuh.

Dosen Universitas Tidar Magelang, Novitasari, ikut berkomentar. Kata dia, keragaman bahasa daerah yang kita miliki hingga 718 bahasa juga mesti menjadi sarana komunikasi yang terus dilestarikan. Ia mencontohkan, dirinya orang Banyuwangi yang jadi dosen di Magelang. Sama-sama berbahasa Jawa. Nah, untuk melestarikan bahasa daerah, di luar kelas online maupun di lingkungan forum akademik, ia berbahasa Jawa meski banyak beda vocabulary-nya. 

”Jangan sampai kelak terjadi gagap bahasa karena tiadanya penerus tutur, sehingga status Kemendikbud yang menyebut 11 bahasa daerah mengalami dying language bisa distop. Jaga bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing serta tetap cintai budaya asli Indonesia,” pesan Novitasari.

Yunus Anies, Lestari Nurhajati dan Novitasari tampil dalam diskusi daring yang dipandu oleh Dimas Satria beserta satu pembicara lagi: M. Yusuf Mag, dosen Universitas Sains Alquran Wonosobo, serta Widi Dwinanda, artis pemeran terpuji FFI 2015 yang tampil sebagai key opinion leader.   (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment