Bisnis Digital, Pilihan Cerdas untuk Survive di Era Digital
Brebes: Pandemi Covid-19 meski meredup, rupanya membuat jutaan keluarga Indonesia remuk redam perekonomiannya. Banyak yang karena di-PHK dari kantornya atau bisnis konvensional yang anjlok income-nya, padahal selama ini dijadikan sumber hidup keluarga. Sementara, meskipun pandemi, kehidupan keluarga mesti jalan terus. Lantas, apa opsi yang menarik dicoba buat mencari sumber pendapatan keluarga?
Zaman sedang berubah cepat. Era digital semakin membuktikan kedigdayaannya. Semua dipaksa beradaptasi dan harus mau bermigrasi, mengubah tata kelola dan budaya hidupnya dengan terbantu dan selalu menggunakan sarana digital untuk memudahkan dan mempercepatnya. Termasuk, bisnis dan dunia kewirausahaan.
”Hanya yang mau bermigrasi dan belajar cepat yang bisa bertahan dan berkembang maju. Mengapa mesti kita segera berbisnis digital?” pancing Taty Aprilyana, konsultan Kaizen Room dan founder Kampung Aridathu, saat memantik diskusi dalam webinar literasi digital Indonesia Makin Cakap Digital yang digelar Kemeterian Kominfo untuk warga Kabupaten Brebes, 9 Juli 2021.
Taty, yang alumni Fakultas Hukum UGM itu mengurai lebih jauh. Dia bilang, pasar bisnis digital itu jelas konsumennya dan nyaris tak terbatas jumlahnya. Kuncinya, cerdas membuat produk unik, khas, dan dibutuhkan oleh pasar kaum mudanya. Sebab, kaum muda mengisi 65 persen populasi 202 juta warga Indonesia yang terkoneksi internet dan 170 jutanya tiap hari beraktivitas di medsos.
”Dan lagi, berdasar riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2021, dari jumlah netizen yang merupakan populasi 73 persen warga Indonesia, berdasar sensus 2020 berjumlah 274,6 juta, ternyata 88 persen pernah berbelanja secara online, walau sekadar beli taplak meja atau daster. Itu artinya, pasar yang cakap digital cukup basah buat digarap. Tapi pandemi ini kami paceklik, dompet tipis enaknya mulai dari mana?” urai Taty dengan nada tanya.
Kalau masih ada modal, mulailah riset apa yang dicari di toko online dan banyak diburu di marketplace. Tiru, amati dan modifikasi, bikin pembeda dari yang ada biar khas dan membuat pembeli lebih luas memasarkan di beragam marketplace, Tokopedia, Shopee, Bukalapak, atau yang lain. Caranya?
”Gampang. Searching di Google: cara jualan atau pasang iklan di Bukalapak atau Tokopedia, akan dipandu detail dan mudah. Bisnis yang bagus itu yang berani nyoba dan memulai, bukan yang tanya terus tapi tak juga berani memulai,” ledek Taty.
Taty tak sendiri membahas webinar bertopik ”Menciptakan Ekosistem Kewirausahaan di Era Digital”, yang diikuti ratusan peserta secara daring. Dipandu moderator Rio Siswanto, tampil juga tiga pembicara lain: M. Fatikhun (pengajar UNUGHA Cilacap), I Nyoman Yoga Segara (dosen UHN IGB Sugriwa Bali) dan Zain Handoko (pengajar pesantren Aswaja Nusantara), serta Qausar Harta Yudana, aktor dan filmmaker yang tampil sebagai key opinion leader.
Fatikhun mengatakan, dulu kalau kita hendak berbisnis, selalu berpikir perlu punya modal uang cukup lumayan. Tapi sekarang, dengan teknologi digital lewat beragam media sosial, asal jeli menangkap peluang kita bisa berkesempatan sama. Yakni, membuka usaha di toko digital, baik dengan produk sendiri atau cukup jadi reseller dengan menjualkan produk orang lain dipasang di toko online kita yang gratisan, tapi dengan display dan deskripsi yang menarik.
”Kita berpeluang memulai usaha dan mengembangkannya tanpa modal. Karena barang buatan orang dijual di toko online gratisan yang kini bisa di-download di banyak aplikasi. Jadi, kalau tak segera beraksi, sungguh tak ada alasan lagi. Kecuali kita memang tak mau mulai, dan itu masalah klise di banyak pemula entrepreneur kita,” urai Fatikhun.
Narasumber Zain Handoko ikut urun rembuk. Jangan lupa, mengutip data Kominfo, 25 persen pelaku belanja digital pernah tertipu dalam transaksi online. Karena itu, penting bagi terciptanya ekosistem usaha digital yang positif, jagalah etika bisnis di ruang digital. ”Jagalah jejak digital Anda selalu bagus. Jaga kejujuran dalam deskripsi barang dagangan. Jangan berlebihan, biar tidak bikin konsumen kecewa kalau barang yang dikirim berbeda dengan deskripsinya,” kata Zain.
Kalaupun baru mulai dengan status reseller, Zain mengingatkan, jangan ambil komisi kegedean biar cepat laku. Karena di posisi reseller prinsipnya untung dikit, asal order gede, hasilnya lebih bagus. Ditunjang dengan layanan ramah dan tak gampang marah dalam melayani chat konsumen, sebagai pintu masuknya order di pasar digital. ”Dengan begitu nama baik niscaya akan terjaga, lebih bagus dan panjang umur,” pungkas Zain Handoko. (*)
Post a Comment