News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Media Digital Desa, Solusi Pemberdayaan, Pengawasan dan Pencegah Bullying

Media Digital Desa, Solusi Pemberdayaan, Pengawasan dan Pencegah Bullying




Jepara:  Di era digital, semua warga kini bisa jadi wartawan. Fenomena jurnalisme warga memang telah menjadi realitas sosial baru. Dengan ponsel pintarnya, apalagi bila sang warga berada di TKP yang monumental, misal di tengah banjir bandang, gunung meletus atau kecelakaan di jalan raya, dia bisa menjadi jurnalis yang melaporkan fakta kejadian secara langsung dan lebih cepat. Karena posisinya yang strategis, laporannya menjadi penting dan bernilai berita. 

”Atas dasar itu pula Kementerian Desa sudah lama mewacanakan adanya Media Digital Desa (MDD) yang melibatkan begitu banyak jurnalis warga desa secara organik dan dikelola secara profesional,” ujar M. Achadi, CEO Jaring Pasar Nusantara, saat melontar ide tersebut dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Jepara, 28 Juni 2021 lalu.

Lebih jauh Gus May, begitu mantan wartawan Bernas Yogyakarta itu disapa, mengatakan: kalau di semua desa ada MDD dan sudah dijejaringkan lintas desa, di mana di Indonesia ada kurang lebih 72 ribu desa, dibantu 30 ribu tenaga pendamping desa, maka niat besar untuk memberdayakan desa dengan memiliki BUMD dan MDD bila dikolaborasikan akan menjadi sarana efektif.

Antusiasme Gus May, itu mengingat, kalau di desa ada media yang dinamis dan setiap warga bisa menjadi wartawannya, maka fungsi pengawasan kinerja aparat desa lebih terealisasi. Tak hanya itu. Dalam hal perekonomian desa, peluang promosi bisnis pengusaha muda desa dan berkembangnya UMKM di desa juga akan go digital diliput sendiri dan ditayangkan di medsos dengan adanya situs resmi desa bisa diakses lebih luas dan pemasaran bisa lebih luas. 

”Dengan adanya media desa, diharapkan pemberdayaan desa yang didukung peran sarjana pendamping desa bisa lebih jelas langkah aksinya. Kinerja aparat tidak bisa sembrono lagi. Kolaborasi aparat lintas instansi di atasnya dan lintas bidang lebih mudah dikoordinasikan,” ujar Gus May yang pernah menjadi ketua Fraksi PKB DPRD Magelang itu penuh antusias.

Gus May pernah melakukan riset studi banding ke Desa Cibeureum, Ciamis, Jawa Barat, di mana MDD meski memakai platform yang gratis di dunia maya, tapi semua warga bisa melaporkan liputan di lapangan. Ada redaksi yang mengatur pemuatannya. Ada pemred dan redakturnya. Karena profesional, maka liputannya bisa mengkritik pemerintah desa. Tidak cuma success story atau keberhasilan pemerintah dan kesuksesan aparat dan pengusaha sukses saja. 

Kalau ada kelaparan atau kegagalan program desa, diungkap gamblang untuk dicarikan solusi bersama. Kalau melibatkan instansi lain seperti dinas kesehatan atau dinas sosial, bisa lebih mudah dikomunikasikan. ”Dan, MDD jadi sarana efektif mewujudkan transparansi pengelolaan pemerintahan desa. Bedanya media digital zaman sekarang bisa direspons langsung dan di-follow up beritanya, tidak seperti koran zaman dulu. Itulah mengapa MDD menjadi penting untuk dibangun di lebih banyak desa di Indonesia,” pesan Gus May.

Gus May tak tampil sendiri. Dalam diskusi virtual bertema ”Desa Digital untuk Mengoptimalkan Pemberdayaan Masyarakat” yang dipandu moderator Ayu Perwari, hadir pula pembicara lain: Saeroni dari Pusat Studi Keluarga Universitas NU Yogyakarta; Seno Adi Nugroho, fasilitator Kaizen Room; Fathikhun, dosen UNUGHA Cilacap, serta tampil sebagai key opinion leader, presenter TV Oka Fahreza.

Melanjutkan diskusi, menurut Saeroni, yang juga perlu dicegah serius di pedesaan dengan hadirnya media digital desa adalah perundungan siber alias cyber bullying pada anak-anak. Mengutip data BPS 2020, Saeroni mengatakan, 75 persen dari 1,84 juta anak yang disurvei di pedesaan Indonesia secara acak, 56 persen di antaranya pernah jadi sasaran korban, bahkan 57 persen itu wanita dan 700 ribu anak. ”Ini serius. Kalau media desa bisa memfasilitasi, jelas sangat membantu mengurai komunikasi anak dengan orangtua menjadi lebih komunikatif,” pesan Saeroni.

Biasanya, di kalangan anak di bawah 18 tahun, jelas Saeroni, bentuk cyber bullying bermula dari flaming. Perselisihan kecil antar-dua remaja tapi diperluas dan dibumbui di dunia digital oleh orang yang tak dikenal dan menjadi tekanan mental bagi korban. Juga harassement, pelecehan, baik dengan kata-kata dan ujaran yang tidak sopan, sehingga bagi anak remaja putri yang mentalnya lemah bisa menjadi tekanan mental serius. 

”Ini mesti dibahas, dicarikan solusi bersama dengan adanya forum bersama. Masalah sosial ini bisa dilewatkan media desa, dikolaborasi pembahasannya secara sosial lintas warga. Diskusi publik penting untuk cari solusi bersama agar tidak terus berulang, dan dikurangi praktiknya dalam kehidupan sosial di kalangan remaja desa. Media desa amat efektif kalau bisa berperan serta,” pungkas Saeroni. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment