News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Moderasi Beragama Perlu Dikembangkan Lebih Intens di Ruang Digital

Moderasi Beragama Perlu Dikembangkan Lebih Intens di Ruang Digital





KENDAL : Indonesia terlahir dengan keberagaman. Tidak hanya suku dan budaya, namun juga termasuk dalam hal keyakinan beragama, sehingga perbedaan itu tidak mungkin dihilangkan. 

Terlebih di era digital yang makin bebas saat ini, keberagaman Indonesia semakin teruji dan menuntut sebuah sikap arif dari para pengguna ruang digital.

"Moderasi beragama menjadi jawaban Indonesia sebagai negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang nyaris tiada tandingannya di dunia," kata Kepala MTsN Semarang Hidayatun, saat menjadi pembicara  webinar literasi digital bertema ”Dalami Agama di Dunia Maya" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Senin (9/8/2021).

Hidayatun mengungkapkan, menjaga kerukunan dalam perbedaan yang ada di Indonesia, menuntut adanya keseimbangan dan sikap toleransi. Cermin semangat ini mesti terwujud pula di ruang-ruang digital. Sebab toleransi ini berkait erat dengan hidupmya moderasi beragama.

"Jadi, dalam moderasi agama itu akan tumbuh semangat memanusiakan manusia, bagaimana kita bersikap sebagai manusia kepada yang lainnya yang berbeda," kata Hidayatun.

Hidayatun merujuk data survei Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dibeberkan medio 2016 silam. Hasil survei menunjukkan temuan bahwa Indonesia sebagai negara multietnis dan agama tetap menghadapi persoalan intoleransi. 

"Survei tersebut menemukan, dari total 1.520 responden sebanyak 59,9 persen memiliki kelompok yang dibenci. Maksud yang dibenci ini mereka yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok Tionghoa, komunis, dan lainnya," kata Hidayatun.

Dari jumlah 59,9 persen itu, sebanyak 92,2 persen tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia. Responden yang terlibat dalam survei itu tersebar di 34 provinsi terdiri dari responden umat Islam berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah.

"Lantas, di era kemajuan digital ini, ketika kita semakin bebas dalam berpendapat berekspresi, apa yang harus dilakukan untuk menjaga kerukunan dan toleransi itu?" tanya Hidayatun.

Di ruang digital, lanjut Hidayatun, warganet perlu memiliki toleransi lebih peka menjaga keragaman itu. Misalnya dengan tidak menghina sesembahan atau tradisi agama lain yang dibagikan di media digital. Tidak asal menuduh kafir terhadap yang beragama muslim, lemah lembut dan menghindari sikap kasar dalam ruang digital. 

"Di ruang digital juga jangan sampai melakukan pemaksaan, tidak mencampurkan antara yang hak dan batil, tidak diskriminatif, bersikap lembut dan menghindari berkata kasar," kata Hidayatun.

Masih menurut Hidayatun, keragaman merupakan takdir yang tidak diminta, melainkan pemberian Tuhan Yang Menciptakan, bukan untuk ditawar tapi untuk diterima.

"Dalam konteks bernegara moderasi beragama sangat penting, agar paham agama yang berkembang itu juga tidak bertentangan dengan nilai kebangsaan," tegas Hidayatun.

Menurutnya, pemahaman dan pengamalan keagamaan secara esensial tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

"Masyarakat Indonesia memiliki modal sosial dan kultural yang cukup mengakar dan sebenarnya kita biasa bertenggang rasa, toleran, menghormati persaudaraan, dan menghargai keragaman. Hal inilah yang mesti dikuatkan di ruang digital saat ini," jelas Hidayatun.

Narasumber lain, Direktur Lembaga Survei IDEA institute Indonesia Jafar Ahmad mengungkapkan, ada empat jenis sekam yang bisa mendorong munculnya intoleransi dan radikalisme yang patut diwaspadai.

"Sekam itu isu tentang aliran menyimpang, isu tentang Islam sebagai korban, sekam isu tentang musuh agama Islam, dan sekam isu tentang jihad," kata Jafar.

Diskusi virtual kali ini juga menghadirkan narasumber lain yakni pengajar dan pegiat literasi digital, Riant Nugroho, Kepala Sekolah MAN 1 Karanganyar Lanjar Utami serta dimoderatori Fikri Hadil dan Vaniya Safira selaku key opinion leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment