News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Moderasi Beragama di Tengah Keberagaman Suku, Budaya, dan Adat Istiiadat

Moderasi Beragama di Tengah Keberagaman Suku, Budaya, dan Adat Istiiadat





Karanganyar – Moderasi agama adalah sebuah cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan ajaran agama agar dalam melaksanakannya selalu dalam jalur yang moderat (tidak berlebih-lebihan atau ekstrem). Adapun secara kamus, moderasi berarti pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman.

Dekan Fakultas Teknologi Informasi Universitas Serang Raya Tb. Ai Munandar mengawali paparan materi dengan mengutip definisi moderasi beragama yang dibuat mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin pada webinar literasi digital bertajuk ”Moderasi Beragama dan Negara Kesatuan RI” yang digelar Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat (20/8/2021).

Selain Ai Munandar, hadir beberapa narasumber Fakhriy Dinansyah (communication dan CSR specialist), Jafar Ahmad (Direktur Lembaga Survei IDEA Institute Indonesia), H. Wiharso (Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Karanganyar), dan key opinion leader Intan Kusuma, dalam webinar yang dimoderatori Niken Pratiwi.

Ai Munandar mengatakan, banyak perilaku beragama secara berlebihan kita jumpai di ruang digital. Contoh perilaku beragama yang berlebihan itu misalnya seseorang dengan agama yang sama mudah mengkafirkan saudara sesama pemeluk agama hanya karena berbeda dalam memahami agama. 

”Padahal hanya Tuhan (Allah SWT) yang Maha Tahu apakah seseorang sudah masuk kategori kafir atau tidak,” tegas Ai Munandar di depan lebih dari 200-an partisipan webinar siang itu.

Tak hanya itu, selain perilaku beragama yang berlebihan, ada juga narasi yang menyatakan bahwa moderasi beragama adalah narasi berbahaya karena dapat mengakibatkan perpecahan kaum muslimin, pendangkalan akidah, pelemahan keagungan Islam, serta menjauhkan anak didik dari agamanya sendiri. Sehingga, lambat laun mereka tidak akan lagi bangga dengan agamanya dan identitasnya sebagai seorang muslim.

Padahal, lanjut Ai Munandar, moderasi beragama bukan ideologi. Lebih kepada cara pandang dalam mengamalkan agama. Tidak ada upaya pendangkalan akidah atau pelemahan Islam. Moderasi beragama justru menyadari adanya keberagaman baik suku, budaya, adat istiadat yang kemudian terikat dengan kepercayaan yang harus kita hormati dan jaga bersama. Tidak berlebihan namun tetap kuat dan teguh dengan agamanya.

”Untuk mengetahui seseorang moderat atau tidak dalam beragama, setidaknya ada empat indikator moderasi beragama sebagai tanda perilaku moderat, yaitu: cinta tanah air, punya toleransi tinggi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap budaya lokal,” jelas Ai Munandar.

Moderasi beragama dalam ruang digital secara aktif bisa dengan cara menyebarkan konten positif, kerukunan umat dan antar umat beragama, saring informasi agama sebelum dibagikan, dan kroscek dari berbagai referensi pembanding. ”Sedangkan secara pasif, hindarkan konten bernada ujaran kebencian atas nama agama, konten radikal, dan konten provokatif,” sebut Ai Munandar.

Berikutnya, CSR specialist Fakhriy Dinansyah berpendapat, moderasi beragama diperlukan untuk meminimalisasi dampak negatif ruang digital. Maraknya berita hoaks atau kabar bohong masih menjadi tantangan di tengah kenaikan pengguna internet dan media sosial.  Dalam tiga tahun terakhir, jumlah hoaks yang tersebar di berbagai platform di Indonesia cenderung meningkat. 

Mengutip data yang dihimpun Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), kata Fakhriy, jumlah hoaks yang tersebar di Indonesia pada 2019 mencapai 1.221 hoaks. Kemudian, pada 2020 meningkat menjadi 2.298 hoaks. Kondisi itu tentu saja meresahkan banyak orang dan menimbulkan konflik serta perpecahan bangsa.

Menurut Fakhriy, kecemasan banyaknya hoaks juga dirasakan oleh Editor in Chief Direktorat Jenderal Bimas Kementerian Agama RI Ahmad Syamsuddin, yang menilai betapa berbahayanya jika hoaks agama, kesehatan, dan politik saling berkelindan karena potensi daya rusaknya luar biasa.

"Hoaks yang bertema agama tidak hanya menyerang akal, tetapi juga menancap di hati. Sangat sulit membujuk orang yang sudah termakan hoaks agama. Karenanya, upaya kolaborasi melawan hoaks sangat penting dilakukan,” pungkas Fakhriy. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment