Yuk, Kita Lawan Ujaran Kebencian di Dunia Maya
Surakarta – Butuh kecakapan untuk melawan ujaran kebencian di dunia maya. Selain memahami karakter publik dan ciri ujaran kebencian era media sosial, upaya membangun kecerdasan emosional digital harus terus dilakukan.
Rangkuman pendapat cara melawan ujaran kebencian di dunia maya itu disampaikan oleh pengajar ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Taufiqur Rahman pada webinar literasi digital bertajuk ”Melawan Ujaran Kebencian di Dunia Maya” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (28/7/2021).
Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator presenter Fikri Hadil itu, juga menampilkan narasumber Tommy Destryanto (praktisi IT), Farid F. (dosen Informatika Universitas Sahid Surakarta), Budhi Hermanto (peneliti media), dan Gloria Vincentia selaku key opinion leader.
Taufiq menyatakan, ada tiga karakter publik di era media sosial. Pertama, audiens yang tidak nampak dan anonim sehingga tidak bisa mengidentifikasi orangnya. Kedua, hilangnya konteks sosial, sehingga membuat konsep sopan-santun dan empati sulit untuk dibangun dan sering terjadi salah paham.
”Dan yang terakhir, pudarnya batas antara ranah publik dan private, akibatnya isu-isu privasi dibawa ke ruang publik untuk menarik perhatian dan menaikkan rating. Tiga-tiganya bisa menyuburkan ujaran kebencian di dunia maya,” ujar Taufiq.
Ujaran kebencian, menurut Taufiq, merupakan tantangan terbesar negara demokrasi. Ujaran kebencian juga erat hubungannya dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang menjadi ciri negara demokratis dan hak setiap orang yang dijamin negara. Namun, kebebasan yang dijamin itu juga memiliki batasan-batasannya.
”Batasan itu seperti terangkum dalam edaran Kapolri SE/6/X/2015. Bentuk hate speech yang harus dihindari sesuai edaran tersebut: penghinaan, menghasut, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, pencemaran nama baik, dan hoaks,” papar Taufiq.
Cara menghindari jebakan ujaran kebencian, imbuh Taufiq, ialah dengan melatih kecerdasan emosional digital, atau kemampuan untuk mengenal diri sendiri serta orang lain agar dapat menempatkan diri dalam situasi orang lain.
Berikutnya, peneliti media Budhi Hermanto menyatakan, ada tiga hal penting saat berinteraksi di media sosial. Yakni, pengguna yang multikultur, konten yang bermanfaat, dan think before you post.
Sebagai ilustrasi, Budhi tak lupa memberikan dua jenis contoh konten baik dan buruk yang diunggah di media sosial. Contoh pertama berupa konten baik, berupa video tentang anak-anak muda yang turun dari sepeda saat berpapasan dengan orangtua.
Contoh konten buruk, berupa unggahan foto seorang perempuan cantik mengenakan kain kebaya dengan menyertakan caption. ”Bunyi caption postingan itu ’Keyakinan agamamu jangan merusak tradisi, adat dan budaya milik bangsamu’,” ungkap Budhi.
Dari kedua contoh konten tersebut, menurut Budhi, memperlihatkan adanya batasan baik dan buruk dalam bermedia sosial. Untuk itu, pengguna media sosial harus memperhatikan kesehatan fisik dan mental (Toxic Social Media).
”Selain itu, pengguna media sosial juga harus memperhatikan ruang, waktu, dan konten. Karena tidak semua hal kita harus tahu dan diikuti,” tandas Budhi. (*)
Post a Comment