News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Pentingnya Persatuan Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah, dan Basyariah dalam Bermedia Sosial

Pentingnya Persatuan Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah, dan Basyariah dalam Bermedia Sosial




Kebumen - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kembali menyelenggarakan webinar literasi digital untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Kamis (29/7/2021). Diskusi virtual kali ini mengangkat tema ”Membangun Toleransi Beragama melalui Media Sosial”. 

Program literasi digital merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia dalam mendukung percepatan transformasi digital. Serta menciptakan sumber daya manusia yang cakap dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Literasi digital ini mencakup empat pilar yang terdiri dari digital culture, digital skill, digital ethics, dan digital safety. 

Bobby Aulia (entertainer) memandu acara diskusi dengan menghadirkan empat narasumber yang cakap pada bidangnya. Yakni, Ibnu Novel Hafidz (general manager Keisha Hotel), Khoironi Hadi (kepala MAN Temanggung), Prasidono Listiaji (konsultan media), dan Isharsono (founder ISTAR digital Marketing Center). Selain itu content creator Adew Wahyu juga ikut menyemarakkan diskusi sebagai key opinion leader.  

Ibnu Novel Hafidz dalam paparannya menyampaikan, budaya digital masa kini sudah tidak bisa dihindari lagi, apalagi desakan pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas fisik membuat berbagai aktivitas kini banyak bergeser ke dunia maya. Media sosial tidak hanya berfungsi sebagai sarana yang mendukung komunikasi, tetapi juga menjadi ruang untuk berekspresi, menyimpan kenangan, berbisnis, juga berbagi. 

"Hanya saja, yang perlu diingat saat bermedia sosial adalah penghuni di ruang virtual juga sesama manusia yang punya perasaan. Di sana juga ada penghuni yang jahat dan penghuni yang baik, juga ada hukum karma dari aktivitas digital yang kita tinggalkan. Lebih dari itu, ruang digital mempersempit ruang privat karena semua orang bisa mengakses. Setiap pengguna bisa menjadi orang lain, media sosial membuat penggunanya bersikap spontan yang rawan salah paham," ujar Ibnu. 

Selain itu, dalam perspektif budaya, Indonesia sangat kaya dengan berbagai perbedaan karena karakter masyarakatnya yang majemuk. Kemajemukan Indonesia dicontohkan Ibnu sebagai mangkuk berisi sup buah yang di dalamnya terdiri dari berbagai hal yang padu memiliki rasa lezat. Maka, untuk menjaga beragam perbedaan itu jangan sampai memecahkan mangkoknya. Ini menjadi kebijakan yang etis dalam berkehidupan, saling bertoleransi. 

"Sama halnya dalam konsep bermedia, interaksi sosial itu hendaknya menganut konsep beragama Islam dalam ukhuwah islamiyah atau menjaga persatuan umat beragama, ukhuwah wathaniyah dengan menjaga persatuan antar bangsa, dan ukhuwah basyariyah yaitu bagaimana kita mencintai sesama manusia. Ketiga hal tersebut telah terangkum dalam dasar negara Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika," imbuhnya. 

Saat berada di dunia digital, konsep tabayyun dan amar ma'ruf nahi munkar menjadi pagar dalam bersikap dan berperilaku di media sosial. Mengapa, karena arus informasi di dunia digital itu tidak hanya yang baik-baik saja, tetapi yang buruk pun tidak luput. 

"Tabayyun berarti dalam menerima informasi pastikan dulu kejelasannya. Teliti dan seleksi serta tidak terburu-buru. Dicek dulu pembawa beritanya siapa, isi beritanya seperti apa, apakah bukti dan faktanya relevan, dan apakah informasi itu bermanfaat. Sedangkan amar ma'ruf nahi munkar dalam bermedia sosial adalah bagaimana kita menyampaikan informasi dan bernasihat dengan baik.  Bersikap berdasarkan dalil yang jelas dan kuat," urainya. 

Sementara itu, Khoironi Hadi menambahkan, media sosial juga berperan dalam menyebarkan paham intoleransi. Hal ini dicontohkan pada kasus di Solo, ketika ada anak kecil merusak batu nisan yang bertanda salib hingga mendapat perhatian serius dari Wali Kota dan pihak yang bersangkutan. Setelah ditelusuri, rupanya media digital ikut berperan hingga muncul kejadian tersebut. Dari sini dapat dilihat, literasi digital sangat diperlukan, untuk anak-anak sekalipun. 

"Jadi, bagaimana beragama yang benar di media sosial? Pada intinya, bermedia itu bagaimana orang lain juga merasa aman dan nyaman. Maka ciri beragama yang benar adalah harus sesuai dengan kemanusiaan, yakni suka damai, bukan permusuhan. Inklusif, bahwa semua orang adalah saudara. Juga konstruktif, bangsa ini dibangun oleh masyarakat dari berbagai golongan, maka bagaimana kita dalam bermedia sosial mampu membangun persatuan itu," jelasnya.  

Dibutuhkan jembatan untuk bisa menjaga persatuan dari perbedaan itu, yakni dengan bersikap moderat. Yakni dengan terbuka, dengan berbagai pendapat dan wawasan, lalu rasional, tawadhu' atau menghargai orang lain, serta memberi manfaat. 

"Dalam hal ini guru atau pendidik memiliki peran dalam menanamkan toleransi. Menanamkan budaya luhur bangsa kita yang suka menghormati sesama dan bergotong royong," pungkasnya. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment