News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Menjadi Superman di Era Digital dengan Cara Perangi Hoaks

Menjadi Superman di Era Digital dengan Cara Perangi Hoaks




KEBUMEN - Setiap orang bisa menjadi sosok Superman di era digital ini.
Tapi, jangan bayangkan Superman dalam cerita fiksi yang memiliki kekuatan super otot kawat balung wesi dan bisa menembakkan sinar laser dari matanya.

"Kita semua bisa menjadi Superman di era digital dengan cara ikut memerangi dan membendung derasnya informasi-informasi hoaks agar masyarakat, keluarga dan teman atau lingkungan kita tidak menjadi korban berita bohong itu," ujar dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta Yonathan Dri Handarkho saat menjadi narasumber dalam webinar literasi digital bertajuk "Strategi Menangkal Konten Hoax" yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Sabtu (24/7/2021).

Dalam webinar yang juga menghadirkan narasumber Nadjib Azca (dosen Fisipol UGM), Sopril Amir (Tempo Institute) dan Ahmad Faridi (Kanwil Kemenag Jawa Tengah) itu, Yonathan mengatakan derasnya serangan kabar bohong dalam era digital ini mendorong tanggung jawab semua pihak untuk ikut membendungnya.

"Semua pihak bertanggungjawab mengurangi munculnya informasi yang tidak bertanggung jawab atau hoaks ini, karena sangat berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa," ujarnya.

Terlebih di masa pandemi ini, Yonathan menilai pentingnya menanamkan kesadaran digital safety dalam berinternet. Sebab kebanyakan saat pandemi ini masyarakat lebih banyak menghabiskan waktunya bersama internet di rumah. Baik untuk bekerja, belajar dan bermain.

"Berbeda sebelum pandemi, orang punya tiga tempat mobilitas biasanya. Yakni tempat kerja, komunitas, dan rumah. Tapi sekarang tinggal rumah saja pergerakannya," cetus Yonathan.

Artinya, peluang masyarakat untuk menerima, mengkonsumsi dan membagikan informasi yang tidak benar semakin besar.

"Mengapa berbahaya, ya karena ketika menerima informasi ada kecenderungan membagikan dan itu menjadi rekam jejak digital yang buruk jika ternyata informasi itu hoaks," kata Yonathan.

Ia lalu mendorong orang berinternet layaknya seorang pembuat atau pemahat. Jadi benar-benar memikirkan rekam jejak digital seperti halnya pemahat memikirkan karya apa yang akan mereka buat atau torehkan.

Jejak digital layaknya bom ranjau yang tertanam di dalam jejak penggunanya dan kemungkinan berisiko meledak suatu saat jika ada pihak-pihak tertentu yang mengincar si pemilik jejak digital sebagai target.

"Jadi hati-hati soal apa yang kamu bagi, di mana kamu berbagi, dan kapan kamu berbagi informasi itu. Cermatlah dengan situs yang kamu kunjungi, email yang kamu buka dan link yang kamu klik," kata Yonathan.

Sebab jejak digital akan terekam di ruang siber dan tidak dapat dihilangkan secara mudah jika sudah terbagi atau tersebar. "Kita harus bisa memfilter secara cerdas dan hati-hati informasi yang kita peroleh," ujarnya. 

Yonathan menambahkan, masyarakat Indonesia merupakan collectivist society, yang cenderung mengikuti pendapat dan ide dari sekitar di mana mereka tinggal. Ini dikuatkan dengan survei yang dilakukan lembaga Nielsen pada 2020 lalu, bahwa 61 persen responden Indonesia melacak berita Covid-19 dengan memeriksa berbagai platform media sosial berbeda setiap hari.

Adapun narasumber lain, Ahmad Faridi dari Kanwil Kemenag Jawa Tengah mengatakan, untuk melawan hoaks salah satunya perlu digencarkan dengan penguatan literasi digital pengguna. 

Salah satu literasi terpenting yakni soal tata krama berinternet, sehingga orang sadar bahwa menyebarkan berita hoaks beredar adalah hal yang bertentangan dengan moral perilaku.

"Inilah pentingnya netiket atau etika berinternet. Orang tak boleh berpikir lagi bahwa di internet mereka berhadapan dengan teks dan gambar, tapi dengan orang-orang lain layaknya interaksi dunia nyata," kata Faridi. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment