News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Jurus Mencetak Siswa yang Cakap Digital

Jurus Mencetak Siswa yang Cakap Digital





Karanganyar – Banyak orang menyebut era digital saat ini sebagai masyarakat ”prosumer”. Artinya, setiap orang adalah pembuat, penyebar, sekaligus pengguna.

Namun, ada juga kalangan yang menyebut era internet ini sebagai ”The Fifth Estate” atau pilar kelima demokrasi. Fifth estate terinspirasi pada kajian media yang menyebut pers sebagai kekuatan pilar keempat, The Fourth Estate, setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif. 

Demikian diungkapkan staf pengajar Fisip Universitas Diponegoro Semarang Lintang Ratri Rahmiaji dalam webinar literasi digital bertema ”Mencetak Siswa yang Cakap Digital” yang dihelat Kementerian Kominfo bagi masyarakat Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Selasa (13/7/2021).

Menurut Lintang, internet jelas memiliki sejumlah karakteristik potensial sebagai pilar demokrasi. Antara lain: tidak mudah dikontrol, non-hegemonik, desentralis, heterogen, voluntaristik—sejumlah karakter yang bisa meminimalisasi hegemoni kontrol negara atau kekuasaan. 
 
Tak hanya perkara fifth estate, Lintang juga mencoba mengenalkan istilah ”Echo Chamber” dan ”Filter Bubble” untuk memberikan dasar pemahaman mengenai posisi era digital (internet) yang telah menguasai seluruh aspek kehidupan yang dipraktikkan manusia sehari-hari.

Echo chamber, ucap Lintang, merupakan sebuah deskripsi kiasan dari sebuah keadaan di mana keyakinan diyakini atau disebarkan oleh komunitas dan diulang-ulang. Adapun filter bubble merupakan fenomena penyortiran dan seleksi informasi oleh algoritma berdasarkan pertimbangan kecocokan, relevansi dan preferensi. 

”Secara singkat, filter bubble ini merupakan isolasi informasi berdasarkan ketertarikan netizen dan memberikan saran berdasarkan perhitungan asumsi dari ketertarikan tersebut,” ujar Lintang kepada lebih dari 800 peserta webinar. 

Terkait tema hari itu, Lintang berpesan kepada peserta webinar untuk tidak sembarangan dan asal posting saat bermedia sosial. Hal ini ia sampaikan mengingat adanya kecenderungan dari netitizen yang berprinsip ”Saya posting, maka saya ada”. Kalimat itu merujuk pada ungkapan ”Cogito ergo sum” oleh filsuf Prancis Rene Descartes yang maknanya ”Saya berpikir, maka saya ada”.

Kecenderungan asal posting menurut Lintang, juga dipengaruhi oleh perasaan FOMO (fear of missing out), sebuah kecemasan karena merasa tertinggal dari yang lain. Perasaan risau datang karena belum membuka media sosial seperti instagram, facebook, youtube, atau twitter.

”Ciri-ciri orang FOMO: tidak bisa lepas dari ponsel, panik kalau handphone ketinggalan di rumah, kesal jika teman melakukan hal tanpa dirinya, khawatir jika melihat orang lain terlihat lebih bahagia dan merasakan kepuasan lebih besar, ingin selalu terhubung dengan media sosial secara terus-menerus terutama untuk melihat respon orang lain terhadap eksistensinya,” papar Lintang. 

Berikutnya, staf pengajar Fisip Universitas Budi Luhur Jakarta Bambang Pujiyono mengutip apa yang disampaikan Wagner, mengidentifikasi kompetensi dan keterampilan bertahan hidup yang diperlukan oleh peserta didik dalam menghadapi kehidupan, dunia kerja, dan kewarganegaraan di abad ke-21 ditekankan pada tujuh keterampilan.

Pertama, kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah; Kedua, kolaborasi dan kepemimpinan; Ketiga, ketangkasan dan kemampuan beradaptasi; Keempat, inisiatif dan berjiwa entrepeneur; Kelima, mampu berkomunikasi efektif baik secara oral maupun tertulis; Keenam, mampu mengakses dan menganalisis informasi; dan Ketujuh, memiliki rasa ingin tahu dan imajinasi.

Bambang menyatakan, pendidikan memiliki suatu standar proses (SP) pada satuan pendidikan. Hal itu merupakan pelaksanaan proses pembelajaran secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Kecakapan digital bagi siswa, lanjut Bambang, terdiri dari kecakapan memanfaatkan mesin pencari, dan penggunaan media sosial. Mesin pencari bermanfaat digunakan untuk menambah tingkat pengetahuan, menambah frekuensi latihan menyelesaikan soal, dan untuk mencari informasi yang bersifat hiburan yang positif.

”Sedangkan media sosial berfungsi untuk membuat kelompok produktif yang berkait dengan ilmu pengetahuan, menjadi sarana untuk berbagi informasi/kreasi/ bagi sesama, dan menjadi sarana untuk hiburan yang positif,” jelas Bambang.

Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator Harry Perdana itu, juga menampilkan narasumber Novi Kurnia (Pengajar Ilmu Komunikasi Fisipol UGM), Ari Ujianto Gondhes (Penggiat Advokasi Sosial), dan Adinda Daffy selaku key opinion leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment