News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Etika Digital Menangkal Konten Hoaks

Etika Digital Menangkal Konten Hoaks




Sukoharjo – Penggunaan media sosial kini berkembang secara pesat. Media sosial, juga memungkinkan semua orang untuk bertukar informasi dengan sesama pengguna media sosial. Perilaku pengguna media sosial masyarakat Indonesia yang cenderung ’sembrono’, membuat informasi yang benar dan salah menjadi bercampur aduk.

”Di era digital, informasi yang belum terverifikasi benar dan tidaknya tersebar secara cepat. Ujaran kebencian, provokasi dan hoaks menyebar seolah tak terbendung. Untuk itu, perlu etika dalam mengelola dan menerima dunia digital,” ujar Kepala MAN 2 Kudus Shofi pada acara webinar literasi digital suguhan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (24/7/2021).

Diskusi virtual bertema ”Strategi Menangkal Konten Hoaks” itu dipandu oleh moderator Shafinaz Nachiar, dengan menghadirkan narasumber Nyarwi Ahmad (Direktur Eksekutif Indonesia Presidential Studies), Rusdiyanta (Dosen/Konsultan), Suyanto (Pengawas Madrasah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Grobogan), Fajhar Adhi Nugroho dan Syafii Syaf selaku key opinion leader.

Shofi menegaskan, seseorang yang mempunyai etika digital akan mampu menggunakan bahasa dan penulisan kata yang baik pada saat mempublikasi informasi di media sosial.

Para pengguna media sosial, dalam konteks etika digital, harus memberikan informasi yang sesuai dengan fakta, dan tidak memuat konten yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).

”Etika digital merupakan kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, dan mengembangkan tata kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Kepala Madrasah Aliyah Negeri itu.

Terkait banyaknya beredar berita hoaks di media digital, menurut Shofi, hal itu terjadi karena akses negatif kebebasan dalam berbicara, berpendapat dan berperilaku dalam menggunakan media sosial.

Berita yang direkayasa atau lebih dikenal dengan hoaks, bisa didefinisikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta dengan menyebar informasi yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

“Tujuan penyebaran hoaks beragam. Tapi, pada umumnya hoaks disebarkan untuk menjatuhkan lawan atau pesaing. Ini sering terjadi pada saat kampanye Pilkada dan Pilpres,” ungkap Shofi.

Shofi menegaskan, penerima hoaks biasanya terpancing untuk segera menyebarkan berita tersebut. Sehingga, hoaks dengan cepat tersebar luas. Orang cepat percaya hoaks jika informasinya sesuai dengan opini.

Agar terhidar dari berita hoaks, Shofi berpesan agar berhati-hati dengan berita atau informasi bersifat provokatif, periksa fakta dan kebenarannya, dan jangan terburu-buru untuk membagikan berita.

”Jika ada berita atau informasi yang simpang siur, maka bertabayyunlah kepada orang atau lembaga tersebut untuk mencari dan meneliti kebenaran informasi yang beredar,” imbuh Shofi. 

Pembicara lain, Fajhar Adhi Nugroho juga menyatakan, Indonesia ialah negara multikultur yang memiliki heterogenitas suku, agama, ras dan antargolongan. Dunia digital sangat rentan memunculkan terjadinya pergesekan atau informasi yang tidak benar.

Menurut Fajhar, berinteraksi di dunia digital (internet) kini sudah menjadi budaya baru masyarakat dalam berinteraksi, baik interaksi personal maupun sosial. Semuanya ada dan dikemas dalam media sosial.
”Butuh kompetensi agar berbudaya digital yang baik dan tidak menyebar berita bohong atau hoaks. Jangan hanya sekadar bisa memanfaatkan alat digital, tapi tidak tahu manfaatnya,” ungkap Fajhar.

Fajhar menambahkan, kurangnya pemahaman pada penggunaan media digital berakibat pada ketidakmampuan memahami batasan kebebasan berekspresi. Sehingga, berita hoaks terus bermunculan di media sosial.

Hoaks, lanjut Fajhar, juga muncul lantaran ketidakmampuan membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital, di samping karena dianggap dari sumber yang kredibel.

“Perbanyak konten positif, agar ruang digital tidak banyak terisi oleh hal yang bersifat negatif yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain,” pungkasnya. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment