Anggota DPR RI Sukamta : Anggota Komisi I DPR RI, Dr H Sukamta: Segala Bentuk Kriminal Dunia Nyata Kini Pindah ke Dunia Maya
Anggota DPR RI Sukamta saat jadi pembicara dalam webinar Merajut Nusantara bertajuk "Pemanfaatan TIK Sebagai Media Edukasi Masyarakat Menghadang Cyber Crime dan Hoaks", Sabtu (17/4/2021). |
WARTAJOGJA.ID Kemajuan teknologi informasi dengan kemudahan koneksi internet memicu munculnya banyak kejahatan siber dan kabar bohong (hoaks) di sekitar kita.
Beberapa oknum memanfaatkan sejumlah media sosial untuk menyebar konten berisi provokasi dan menipu sejumlah orang.
Hoaks adalah kepalsuan yang disengaja dibuat untuk menyaru sebagai sebuah kebenaran. Hoaks biasanya memiliki ciri tidak masuk akal.
Anggota Komisi I DPR RI, Dr H Sukamta mengatakan saat ini, semua bentuk kriminal di dunia nyata lari ke dunia siber. Ia menyebut salah satu bentuk kejahatan siber saat ini berupa hoaks. "Dulu di jaman awal-awal internet untuk lucu-lucuan bukan untuk kriminal. Sekarang targetnya bukan untuk lucu-lucuan, tapi serius," jelasnya, webinar Merajut Nusantara bertajuk "Pemanfaatan TIK Sebagai Media Edukasi Masyarakat Menghadang Cyber Crime dan Hoaks", Sabtu (17/4/2021).
Ia pun mengajak semua pihak untuk mencermati hoaks karena kejahatan kriminal dan hoaks semakin luas menyebar dan berdampak ke masyarakat. "Penipuan online semakin marak dengan volume yang semakin besar. Saya berharap kepolisian dan Kominfo membentuk direktorat khusus mencegah hoaks," ujarnya.
Dari catatan Kepolisian, kejahatan siber sampai akhir Maret 2021, Sukamta menyebut ada sekitar 3500 laporan yang masuk. "Misal untuk konten provokatif, ada 1048 kasus seperti konten yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA. Penipuan online, ada sekitar 649 kasus dengan kuantitas penipuan yang meningkat dan jumlah kerugian rupiahnya juga semakin besar," bebernya.
Untuk kejahatan siber yang lain, Sukamta menyebut diikuti pornografi, akses ilegal, perjudian, peretasan, gangguan sistem, intersepsi (penyadapan). "Itu juga menjadi jenis-jenis kejahatan siber yang kuantitas dan kualitasnya meningkat," ujarnya.
Ia pun mendorong pihak Kominfo memiliki kajian ilmiah kenapa orang melakukan hoaks. Kominfo juga perlu menertibkan iklan-iklan yang menyesatkan dan merugikan konsumen. "Dengan teknologi Artifisial Intelegensi, Kominfo pasti dapat memberikan tindakan, misal sekarang kalau ada konten kekerasan, pasti akan langsung diblur gambarnya dan butuh akses khusus untuk bisa masuk," paparnya.
Dengan timnya, Sukamta pun melakukan survei kecil-kecilan secara online untuk mencari tahu alasan seseorang membuat hoaks. (1) Semakin tinggi biaya pengeluaran internet seseorang maka semakin tinggi cenderung untuk menyebarkan hoaks. (2) Semakin tinggi kepercayaan terhadap konspirasi maka semakin tinggi kecenderungan menyebarkan hoaks, ini barangkali politik. (3) Orang yang memiliki tingkat kepemimpinan (leadership) di dalam sebuah kelompok, ada kecenderungan untuk menyebarkan hoaks. (4) Mereka yang rendah kepercayaan agamanya lebih rentan untuk menyebarkan hoaks. (5) Mereka yang tidak percaya diri dalam kecakapannya di media sosial lebih cenderung menyebarkan hoaks. (6) Sebagian besar masyarakat umumnya punya kecenderungan rendah menyebarkan hoaks.
"Selain yang disebutkan, konten kreator juga punya kecenderungan untuk memancing konflik sosial. Sebab, semakin banyak konflik maka makin besar clickbait-nya. Lalu, media sosialnya makin populer, rupiahnya makin gede," imbuhnya.
Sukamta pun menyebut fenomena seperti hoaks dan kejahatan siber lainnya menjadi PR negara kita dan negara lain karena kecenderungannya, media sosial hanya dipakai untuk berkonflik saja. "Saya secara pribadi meyakini hoaks sekedar sampah digital. Saya pun mengajak ke masyarakat agar memakai media sosial untuk hal yang bermanfaat saja," tuturnya.
Freddy Tulung, Praktisi Kehumasan dan Komunikasi Publik mengatakan dari 275 juta penduduk Indonesia berusia 16-64 tahun hampir 9 jam terkoneksi dengan internet. 170 juta penduduknya aktif menggunakan media sosial. "Sembilan jam terkoneksi dengan Inter tentu akan mempengaruhi pola pikir. Ini yang harus diperhatikan karena 99 persen rakyat Indonesia menggunakan smartphone sehingga bisa diakses di mana saja dan kapan saja," ujarnya.
Ia pun menyebut sebuah hoaks itu hanya dalam waktu 3 menit, dapat menyebar ke sepuluh titik, lalu 6 menit berikutnya menyebar ke 16 titik. Sedangkan, klarifikasi hoaks membutuhkan 60 menit sehingga akan jauh tertinggal dari hoaks.
Ia pun memaparkan sejumlah faktor yang menyebabkan hoaks bisa menyebar cepat. Hal itu dipicu oleh sifat dunia digital seperti dunia digital bersifat global atau tidak terbatas geografi, siapa saja bisa mengaksesnya, menyediakan anonimity atau mampu merahasiakan identitas, menyediakan wadah untuk dapat berinteraksi secara nonstop, 24 jam, dan rapidity atau kecepatan untuk pertukaran data dan informasi secara secepat.
Ia pun bersyukur karena di Indonesia, hoaks menjadi bagian dari kejahatan. Undang-undang ITE menjadi mengingatkan seseorang agar tidak melakukan kejahatan siber atau menyebar hoaks. "Untuk di Indonesia, lima media sosial yang banyak digunakan, yaitu youtube, Whatsapp, Instagram, Facebook, dan Twitter," tuturnya. (Arifin)
Post a Comment