Datangi PTUN, Paguyuban Petani Penggarap Wedi Kengser Kali Progo Dukung Gugatan Rekan
WARTAJOGJA.ID : Puluhan warga yang tergabung dalam Paguyuban Petani Penggarap Wedi Kengser
di kawasan Wedi Kengser, Sungai Progo Padukuhan Nengahan, Bantul, DIY berbondong-bondong mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, Kamis (21/1/2021).
Puluhan warga asal Padukuhan Nengahan-Srandakan Bantul itu menghadiri sidang gugatan terbitnya ijin operasi produksi pertambangan yang dikeluarkan Dinas Perijinan dan Penanaman Modal (DPPM) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Mereka hendak mendukung tiga warganya yang bernama Rukiman, Ngatiman, dan Bagyo untuk menggugat DPPM DIY.
Warga menganggap terbitnya ijin penambangan dilakukan tanpa proses sosialisasi dan berdampak pada kerusakan lingkungan.
Yuni Iswantoro, SH, kuasa hukum Paguyuban Petani Penggarap Wedi Kengser mengatakan formalitas terbitnya ijin tambang tanpa dilakukan proses sosialisasi kepada warga.
"Hal itu bertentangan dan melanggar dengan Perda No.1 tahun 2018 tentang pemrakarsa wajib melakukan sosialisasi terhadap warga yang terdampak," jelasnya seusai persidangan.
"Ada sosialisasi setelah terbitnya ijin di tanggal 8 Juli 2020 saat warga ada keberatan administrasi kepada Dinas Perijinan Provinsi DIY. Warga menolak karena sosialisasi ini dilakukan sebelum terbitnya ijin,"imbuhnya.
Iswantoro, sapaan akrabnya menyampaikan dua orang saksi yang dihadirkan, yaitu Pak Paijan dan Pak Karjono warga Pedukuhan Nengahan, Trimurti Srandakan, Bantul, menyatakan tidak pernah diundang dalam proses sosialisasi. "Namun, dua orang saksi fakta yang kita hadirkan di persidangan, menyatakan tidak ada proses sosialisasi. Undangan pun tidak pernah, "terangnya.
"Alasan utama warga ini, sesungguhnya tanah Wedikengser ini sebagai mata pencaharian utama warga. Dulu sejarahnya, warga sebagai penambang konvensional baik berijin atau tidak berijin," imbuhnya.
Iswantoro menceritakan pada tahun 2005, Jembatan Srandakan amblas, lalu Bupati Bantul mengeluarkan kebijakan bahwa semua penambangan pasir di wilayah Padukuhan Srandakan dan Padukuhan Nengahan dihentikan dengan pemberian kompensasi ternak kambing.
"Pemberian kambing dan ternak ini harapannya warga beralih profesi yang dulunya sebagai penambang pasir kemudian memanfaatkan tanah untuk pertanian atau warga sendiri," jelasnya.
Lanjut tambahnya, di Padukuhan Nengahan ada tiga kampung, yaitu Nengahan, Gaswangi, dan Pandak. "Di mayoritas RT di kampung Nengahan semua menolak, penolakan itu jauh sebelum terbitnya ijin. Dilampiri tanda tangan dan KTP. Namun faktanya, tanpa ada sosialisasi, tiba-tiba ada pemasangan patok dan mobilisasi alat berat," bebernya.
Berkaitan dengan dampak lingkungan, lanjut Iswantoro, dari dua saksi dapat tergambarkan di lapangan tentang adanya jalan yang rusak, ada fasilitas umum yang rusak, dan warga kehilangan mata pencaharian.
"Secara administrasi, memang tidak ada tanda bukti milik, tapi sudah ada pengelolaan turun-temurun lebih dari 30 tahun. Pemerintah Kabupaten Bantul dalam hal ini Bupati Bantul sudah merestui peralihan penambangan konvensional untuk lahan pertanian warga," ujarnya.
Sedangkan, Kuasa Hukum Tergugat II dari pihak CV Mitra Bangkit Sejahtera, Heribertus Apriadi mengatakan pada prinsipnya, pihaknya sebagai pemilik ijin, memperoleh ijin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait sosialisasi, ia menyebut sudah ada sosialisasi tiga kali dan ada warga masyarakat yang hadir.
"Jika ada gugatan mengatakan tidak pernah ada sosialisasi, tiba-tiba terbit ijin operasi produksi (IOP) pertambangan dari dinas, itu tidak benar," imbuhnya.
Ia mengatakan tidak ada cacat formil di dalam ijin lingkungan yang dikantongi kliennya, bahkan rekomendasi teknis Balai Besar Serayu Opak, diperoleh jauh sebelum IOP terbit.
"Tidak adanya sosialisasi dan kerusakan lingkungan," tuturnya. (Arifin)
Post a Comment