Perkawinan Anak Picu Risiko Berlapis, UIN Sunan Kalijaga, Rahima, dan KUPI Tekankan Urgensi Pencegahan
WARTAJOGJA.ID : Secara historis, anak lebih sering diposisikan sebagai objek dalam relasi sosial. Padahal, secara normatif, anak seharusnya diposisikan sebagai subjek yang merdeka yang memiliki perlindungan penuh atas hak tumbuh kembangnya. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Mochamad Sodik pada Seminar Nasional bertajuk “Pencegahan Perkawinan Anak di Indonesia” yang digelar oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan RAHIMA dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Rabu (10/12/2025), di Aula Convention Hall kampus setempat.
Prof. Sodik yang juga membuka kegiatan secara resmi melanjutkan, pengetahuan dan pengalaman anak selama ini kerap dinilai lebih rendah dibanding generasi yang lebih senior, sehingga keputusan sering kali diletakkan di tangan orang dewasa tanpa mempertimbangkan perspektif anak. Dalam konteks hukum keluarga, kata dia, persoalan perkawinan anak tidak hanya berkaitan dengan substansi norma, tetapi juga struktur sosial serta cara berpikir para pemangku kewenangan.
Ia mengingatkan bahwa asas maslahat tidak boleh dipisahkan dari prinsip mencegah kerusakan (dar’ul mafsadah), sehingga setiap keputusan harus benar-benar ditimbang dampak jangka panjangnya terhadap anak dan keluarga. Budaya masyarakat yang dinamis, menurutnya, membutuhkan pendampingan yang berkelanjutan melalui pendekatan kultural dan edukatif, contohnya melalui program pembinaan masyarakat dan desa binaan. “Kompleksitas masyarakat kita sangat besar, sehingga diperlukan kerendahan hati dalam mendampingi mereka,” katanya.
Prof. Sodik juga menekankan keterkaitan antara kondisi keluarga dan lingkungan. Ketika keluarga tidak memiliki lingkungan yang mendukung, kemampuan berpikir serta ketahanan anak cenderung melemah. Karena itu, komitmen moral kebangsaan dan kemanusiaan yang terintegrasi dalam upaya mencegah perkawinan anak menjadi sangat penting.
Sementara itu, sebagai Keynote Speaker, Sekretaris Majelis Musyawarah KUPI, Masruchah, M.H., menegaskan bahwa anak-anak merupakan kelompok yang sering dipinggirkan hak-haknya, padahal merekalah pihak yang harus dilindungi dari risiko perkawinan di bawah umur. Menurutnya, kemudaratan yang ditimbulkan bersifat berlapis, mulai dari dimensi kesehatan seperti ketidaksiapan organ reproduksi, anemia, kekurangan gizi, hingga risiko kematian ibu dan bayi.
“Begitu juga secara sosial, perkawinan anak rentan memunculkan perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, serta pemaksaan seksual. Di sisi lain, kualitas hidup juga menurun akibat terputusnya pendidikan, minimnya keterampilan, dan hilangnya kesempatan masa depan,” ungkapnya.
Hak anak, kata Nyai Masruchah, mencakup hak hidup yang layak, kesehatan, perlindungan dari praktik berbahaya, hak pendidikan, hingga pembebasan dari eksploitasi. Anak juga berhak memperoleh lingkungan yang aman, nyaman, dapat bermain, dan terbebas dari tindak kejahatan seksual. “Semua pihak harus bekerja sama mencegah perkawinan anak sebagai bagian dari ikhtiar membentuk generasi terbaik bagi bangsa, serta mewujudkan keluarga yang sakinah,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga, Prof. Euis Nurlaelawati, Ph.D., menyampaikan bahwa ia lebih seringmenggunakan istilah “pernikahan di bawah umur” daripada “perkawinan anak”. Istilah tersebut berkaitan dengan perubahan regulasi usia minimal menikah yang semula 16 tahun bagi anak perempuan dan kemudian dinaikkan menjadi 19 tahun setelah adanya judicial review. Perubahan ini merupakan langkah legislasi untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap anak, meskipun dalam praktiknya dispensasi nikah masih dapat diajukan dengan berbagai alasan yang biasanya mengacu pada motif perlindungan agama, aspek budaya, maupun persoalan ekonomi. “Dalam realitas sosial, alasan tersebut diterjemahkan melalui interpretasi yang sangat luas,” katanya.
Data yang ia sajikan menunjukkan bahwa sebagian besar permohonan dispensasi nikah dipicu oleh kehamilan, juga hubungan seksual yang dilakukan keduanya. Di sejumlah daerah, alasan moral, tekanan sosial, dorongan tanggung jawab, bahkan kekhawatiran dianggap berzina sering menjadi pendorong utama. “Pemahaman tanggung jawab sering direduksi menjadi menikahi, padahal tanggung jawab substansial yang muncul setelahnya jauh lebih berat dan jarang disadari,” tegasnya.
Terkait praktik menikah di bawah umur, Prof. Euis menegaskan perlunya pemetaan ketentuan hukum di sejumlah negara Muslim, seperti Yordania, Mesir, dan Maroko yang telah menetapkan usia minimum dispensasi. Selain itu, kebijakan ke depan perlu merujuk pada berbagai penelitian akademik dan menindaklanjuti temuan empiris yang telah tersedia, serta memperkuat kolaborasi multisektor. Salah satu upaya yang kini dikembangkan adalah layanan pendampingan keluarga melalui Family Corner berbasis masjid.
Narasumber lainnya Adalah Deputi Perlindungan Anak, Dr. Pribudiarta Nur Sitepu, M.M., menjelaskan bahwa akar persoalan perkawinan anak sangat kompleks, mulai dari tekanan ekonomi, tafsir keagamaan, kemiskinan, hingga adat budaya, sehingga dalam sejumlah kasus praktik tersebut dianggap sebagai “solusi” atas situasi sosial tertentu.
Dalam konteks hukum, Pribudiarta menggaris bawahi bahwa perkawinan anak masuk dalam kategori tindak pidana. Pemerintah juga telah mengembangkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, antara lain memperkuat kapasitas dan kesadaran anak, menciptakan lingkungan keluarga yang lebih mendukung sebagai ruang pencegahan utama, serta meningkatkan layanan pemerintah, baik sebelum maupun sesudah terjadinya perkawinan di bawah umur.
Adapun Direktur Perkumpulan Rahima, Pera Sopariyanti, S.Pd.I., M.Hum., yang juga sebagai narasumber, mengungkapkan bahwa fatwa KUPI mengenai pencegahan perkawinan anak menempatkan anak sebagai subjek yang hak-haknya harus dilindungi. Mencegah perkawinan anak yang membahayakan, menurutnya, merupakan kewajiban moral orang tua, masyarakat, pemerintah, dan seluruh pihak terkait.
“Anak perempuan adalah manusia utuh, bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga individu yang memiliki dimensi intelektual dan spiritual yang harus dikembangkan secara optimal,” ungkapnya.
Kekhawatiran terhadap zina, katanya, sering kali menjadi alasan menikahkan anak, padahal tindakan tersebut justru mengerdilkan kualitas anak dan mengabaikan kematangan psikologis serta kesiapan spiritualnya. Anak juga dapat mengalami tekanan fisik dan psikologis ketika dipaksa menjalani relasi seksual dalam usia yang masih sangat muda, sementara tanggung jawab kehidupan perkawinan menuntut kesiapan yang jauh lebih tinggi.
Dampak jangka panjangnya tidak hanya merugikan anak, tetapi juga keluarga dan masyarakat, bahkan menimbulkan beban sosial dan ekonomi bagi negara. “Dampaknya bukan menuju Indonesia emas, tetapi berpotensi menjadi Indonesia cemas, bahkan Indonesia lemas,” katanya.
Adapun Ketua Majelis Tabligh dan Pentarjihan PP Aisyiyah, Evi Sofa Inayati, S.Psi., menjelaskan bahwa di sejumlah wilayah, praktik menikahkan anak di bawah usia 19 tahun masih dianggap wajar dan dilakukan oleh tokoh adat. Karena itu, ia dan tim di ‘Aisyiyah terus mengembangkan edukasi perkawinan, kesehatan reproduksi, serta berbagai kegiatan advokasi di tingkat masyarakat.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, mengungkapkan keprihatinan Indonesia yang berada di posisi ke-4 di dunia penyumbang kasus perkawinan anak, sehingga diperlukan pembenahan sistemik di berbagai sektor. Fenomena ini juga, katanya, memiliki keterkaitan serius dengan praktik perdagangan orang yang dapat berujung pada prostitusi, penipuan, bahkan tindakan pedofil yang mengeksploitasi anak sebagai korban.
Post a Comment