Karya Seniman Jogja Mejeng di Pameran 100 Persepsi Vatikan Untuk Pertama Kalinya
WARTAJOGJA.ID : berpartisipasi dalam dalam The International Exhibition '100 Presepi in Vaticano' atau ‘100 Gua Natal di Vatikan’, di Vatikan. Dalam pameran bergengsi ini, Indonesia diwakili seniman asal Jogja yang menampilkan karya instalasi nativitas dan direspons dalam bentuk pentas teater boneka oleh Papermoon Puppet Theatre.
Pameran seni dalam rangkaian Jubilee is Culture ini diselenggarakan Dikasteri Evangelisasi di lengan kiri deretan tiang marmer karya maestro Renaisans Gian Lorenzo Bernini (1598–1680) di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, mulai 8 Desember 2025 hingga 6 Januari 2026.
Pameran ini juga menjadi salah satu aspek perayaan Natal Vatikan. Pameran ini adalah tradisi Romawi yang ditampilkan mulai 1976. Namun di masa kepausan Paus Fransiskus, pada 2018 dipindahkan ke Vatikan dan menyatukan lebih dari 100 diorama Natal dari seluruh dunia.
Karya delegasi Indonesia bersanding dengan 132 gua Natal karya para seniman dari 23 negara lainnya. Seperti Italia, Kroasia, Spanyol, San Marino, Ukraina, Irlandia, Slovenia, Hongaria, Polandia, Estonia, Jerman, Slovakia, Republik Ceko, Austria, Rusia, Amerika Serikat, Kolombia, Taiwan, Venezuela, Filipina, Guatemala, dan Paraguay.
Partisipasi Indonesia dalam gelaran ini diwakili lewat karya seniman asal Jogja, Maria Tri Sulistyani dari Papermoon Puppet Theatre. Momen ini juga terasa spesial karena bertepatan dengan 75 tahun Hubungan Diplomatik antara Indonesia dan Takhta Suci.
Merespon motto dari Jubileum 2025 yakni ‘Peregrini in Speranza’ atau ‘Peziarah Pengharapan’, Maria menampilkan instalasi nativitas berjudul Waving Hope, atau Menenun Pengharapan. Karya berdimensi 135x135x65 cm itu mengangkat kisah perjuangan para ibu penenun di Mollo, Nusa Tenggara Timur yang merawat alam dan identitas budaya melalui tradisi menenun.
Dalam karyanya, Maria mengibaratkan tangan penopang Keluarga Kudus tak hanya sebagai tangan-tangan yang mendukung dan menemani, tangan para penenun, petani, tangan para gembala, tangan para penjual sayur, namun juga tangan tiga orang majus yang datang dari jauh dan membawakan hadiah.
"Tangan ini juga melambangkan bahwa kebaikan datang jika kita mau memulainya," jelas Maria.
Nuansa Mollo yang kental dalam karyanya juga nampak dari hadirnya kain tenun dari Mollo yang membalut Keluarga Kudus. Mollo yang merupakan nama kota kecamatan di NTT, juga berarti perempuan dari gunung atau orang-orang yang ditugaskan oleh leluhur untuk menjaga batu, mata air, dan hutan.
Perempuan Mollo menenun selama berbulan-bulan di bawah kaki Gunung Mutis yang ditambang sejak 1999. Para perempuan Mollo maju ke garis depan, berjuang melawan tambang, karena bagi mereka merusak alam berarti mengganggu keseimbangan mereka menjalankan tugas menjaga ruang hidup dan sumber pengetahuan yang sekaligus identitas diri.
"Bagi saya kain tenun ini menjadi lambang perlawanan, dan juga upaya manusia untuk melawan keserakahan manusia lain," kata Maria.
"Jika saya boleh menggambarkan peristiwa kelahiran Yesus, dan melihatnya dengan peristiwa hari ini, Keluarga Kudus hari ini ditemani oleh Mama-mama penenun kain dari Mollo," tutur Maria.
Karya Pendiri dan Direktur Artistik Papermoon Puppet Theatre ini juga terasa sangat kaya dengan Patung instalasi nativitas yang dipentaskan dalam bentuk teater boneka oleh Papermoon Puppet Theatre.
Pentas teater boneka dilakukan dua kali, salah satunya di KBRI Takhta Suci yang ditonton oleh sejumlah duta besar dan diplomat negera lain seperti Korsel, Rusia, Iran, perwakilan United Nations Women's Guild, para romo, dan umat paroki.
Partisipasi Indonesia dalam pameran ini juga melibatkan Program Studi Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang berperan dalam pendalaman konseptual, riset budaya, serta kerangka teologis, dan sosial dari karya instalasi.
Penggagas instalasi nativitas yang juga Ketua Steering Committee delegasi Indonesia, G. Budi Subanar, SJ menjelaskan narasi dalam karya ini merefleksikan pesan inti Natal: Yesus yang lahir 2.000 tahun lalu di tengah kaum kecil dan marginal, hadir kembali hari ini di tengah mereka yang terus berjuang mempertahankan tanah, air, hutan, dan warisan budaya demi generasi mendatang.
“Pilihan Maria untuk menggunakan kain mama-mama dari Mollo, untuk membungkus Keluarga Kudus sungguh merupakan sebuah simbol yang sangat kuat untuk sebuah solidiritas penjelmaan Yesus di Hari Natal,” ujar Romo Banar.
“Apalagi dikaitkan dengan Peringatan 75 Tahun Hubungan Diplomasi Indonesia – Vatican, sekaligus merupakan penutupan tahun yubile ‘Peziarah Pengharapan’. Kehadiran persepio ‘Weaving Hopes’ dalam Cento Presepi in Vaticano menjadi wujud diplomasi budaya, dalam terang iman,” imbuhnya.
Selain Romo Banar, keterlibatan kampus ini juga diwakili Stanislaus Sunardi yang sekaligus menjadi wujud kolaborasi antara dunia akademik, seniman, dan diplomat dalam kerja diplomasi budaya yang berkelanjutan.
Melalui perspektif kajian budaya, tim Sanata Dharma membantu merumuskan bagaimana narasi Natal dapat diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan yang majemuk, beragam budaya, dan berlandaskan semangat keadilan sosial.
“Universitas Sanata Dharma, program studi Kajian Budaya, mendukung seniman Maria dan teman-teman karena karya- karyanya sangat dekat dengan semangat kami, yaitu membangun masyarakat lewat seni,” papar Sunardi.
“Karya Maria ini juga kami kaitkan sebagai seni yang membuka ruang bagi banyak pihak dari berbagai latar belakang, untuk berani berpihak pada masyarakat tersisih, khususnya para perempuan Mollo,” ungkapnya.
Delegasi Indonesia ke The International Exhibition '100 Presepi in Vaticano' ini dipimpin oleh Nina Handoko. Menurutnya di pameran ini, Indonesia tidak hanya menampilkan kekayaan seni dan budaya, tetapi juga menegaskan peran penting diplomasi budaya dalam mempererat persahabatan antarbangsa.
“Kami yang berangkat ke Vatikan ini benar-benar bermodal nekat. Para performer sepakat untuk tidak meminta honor atau fee apapun, karena kami semua melihat ini sebagai persembahan tulus untuk Kanak-Kanak Yesus dan untuk Indonesia. Semangat pengorbanan dan kebersamaan inilah yang menjadi kekuatan utama kami,” jelasnya.
Nina menambahkan partisipasi ini bukan hanya soal seni, tapi juga tentang bagaimana Indonesia membawa pesan perdamaian dan harapan ke panggung dunia, serta memperkuat ikatan antarbangsa melalui bahasa universal budaya.
“Di momen Natal yang penuh kehangatan ini, kami berharap semangat kebersamaan dan kasih dari Indonesia dapat menyebar ke seluruh dunia, menjadi pengingat bahwa perdamaian dan cinta kasih adalah hadiah terindah yang bisa kita bagikan,” harap Nina.
Post a Comment