KIE Yogyakarta 2025 : Pendekatan Inklusif Jadi Prioritas Dukung Riset yang Lebih Merata
WARTAJOGJA.ID –Pelibatan kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas dalam riset, krusial untuk mendukung penelitian yang inklusif.
Keterlibatan ini dimulai dari proses persiapa hingga diseminasi hasil riset ke pemangku kepentingan. Di Knowledge and Innovation Exchange (KIE) Yogyakarta yang diselenggarakan oleh KONEKSI, yakni platform kemitraan pengetahuan Australia–Indonesia, empat periset penyandang disabilitas
membagikan pengalamannya. Khususnya terkait tantangan dan harapan untuk implementasi penelitian yang fokus
pada topik kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI).
Dalam sesi “GEDSI in Research Practice: Addressing Climate Change Without Leaving Anyone Behind,” empat (4) prinsip riset inklusif menjadi materi pembahasan. Termasuk perihal rekognisi (terkait keberadaan data yang menunjukkan pengakuan atas keberadaan kelompok rentan); partisipasi (keterlibatan sebagai periset maupun objek
penelitian); akomodasi (untuk mendengarkan masukan semua pihak, termasuk kelompok rentan); dan redistribusi (menyangkut terjadinya perubahan, sebagai dampak dari hasil riset yang inklusif untuk pihak).
Perwakilan Forum Inklusi Disabilitas (Fidakama) Kabupaten Magelang Edi Susanto menyebut,. “Dari pengalaman kami saat melakukan kaderisasi enumerator di desa, ada sekitar 60 penyandang disabilitas yang potensial dilibatkan.
Kami memberikan dukungan dan semangat agar mereka nyaman bersosialisasi di masyarakat. Pasalnya, sampai hari
ini, masih ada beberapa pandangan negatif yang mengira bahwa penyandang disabilitas tidak bisa apa-apa. Maka itu, pembentukan organisasi disabilitas, yang dikukuhkan dengan surat keputusan (SK) Kepala Desa, jadi langkah penting untuk keberlanjutan, karena dana desa dapat dialokasikan untuk mendukung perkembangan mereka.”
Pandangan senada disampaikan perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Jakarta Mahretta Maha. Menurutnya, pelibatan periset penyandang disabilitas penting untuk mengakomodasi masukan yang lebih inklusif terkait kebutuhan kelompok rentan. “Tanpa pelibatan teman disabilitas, desain penelitian yang sebelumnya dibuat
mungkin belum mengakomodasi kebutuhan rentan. Dampaknya, baik metode penelitian maupun masukannya menjadi
tidak relevan. Tidak dapat dimungkiri bahwa riset dengan partisipan penelitian berasal dari kelompok disabilitas, responden tersebut akan lebih nyaman memberi jawaban ketika penanya juga sama-sama menyandang disabilita.s Di
samping itu, pelibatan teman disabilitas juga dapat membantu untuk analisis data riset yang lebih sensitif dan mendalam.”
Perwakilan LIRA Disability Care Mira Aulia pun menegaskan bahwa ada hal utama yang tidak bisa digantikan, ketika riset yang dilakukan menyangkut kelompok disabilitas. Antara lain terkait ikatan, kepercayaan, dan relasi yang setara
antara responden dan periset, termasuk ketika memberikan pertanyaan.
Sejatinya, data-data inklusif yang didapat hanya akan muncul bila proses penelitiannya dilakukan secara inklusif, lewat pelibatan penuh periset penyandang disabilitas, mulai dari perencanaan hingga implementasinya.
Sementara itu, perwakilan Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) Elo Kusuma Alfred Mandeville menyampaikan bahwa pelibatan periset disabilitas juga membantu peneliti nondisabilitas dalam memperkenalkan ragam klasifikasi disabilitas. Termasuk bentuk disabilitas yang tidak terlihat secara kasat mata, sehingga sekilas terkesan sama seperti individu lainnya.
“Misalnya disabilitas berupa low vision, berupa gangguan
mata permanen yang membuat individu hanya bisa melihat dengan sebagian penglihatannya.”
Berbagai tantangan dan harapan yang disampaikan oleh periset penyandang disabilitas ini pun ditanggapi oleh Direktur
Pendanaan Riset dan Inovasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Raden Arthur Ario Lelono. Ia menyebut,
selama ini BRIN tidak melakukan pembedaan dalam memberikan pendanaan riset bagi penyandang disabilitas, karena
yang terpenting adalah rekam jejak peneliti itu sendiri.
“Di BRIN, riset-riset terkait topik GEDSI yang dilakukan oleh teman-teman penyandang disabilitas jumlahnya masih
sangat sedikit. Dari 1.600 judul penelitian, hanya 25 di antaranya yang berfokus pada isu GEDSI. Kami lihat di sini
peran KONEKSI cukup komprehensif dalam melibatkan penyandang disabilitas. Jadi, kami juga terdorong
menginisiasi kolaborasi pendanaan (co-funding) dengan KONEKSI untuk memberikan kesempatan riset yang lebih besar, dengan skema GEDSI.”
Sesi ini sekaligus menjadi penutup rangkaian hari pertama KIE Roadshow Yogyakarta. Diskusi menghasilkan
beberapa catatan penting, antara lain perlunya desain riset yang mengedepankan perspektif inklusif, pentingnya menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi partisipan dan peneliti penyandang disabilitas. Juga, perlunya pelatihan bagi calon periset nondisabilitas agar lebih terbiasa melakukan riset bersama peneliti penyandang
disabilitas.
Post a Comment