Parmusi Menjadi Pengalaman Pertama dan Terakhir Muhammadiyah Berpolitik Praktis
WARTAJOGJA.ID : Sejak 1912 hingga 2024, para aktivis Muhammadiyah pernah terlibat dalam aktivitas politik kepartaian seperti di Sarekat Islam (SI), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Matahari Bangsa (PMB) hingga ke Partai Ummat (PU). Tentu sebagian lain aktivis Muhammadiyah juga tersebar ke berbagai partai politik lain meski tidak begitu dominan.
Disarikan dari buku “Parmusi: Pergulatan Muhammadiyah dalam Partai Politik 1966-1971” karya Ridho Al-Hamdi, dari berbagai partai politik tersebut, keterlibatan Muhammadiyah paling intensif secara kelembagaan ke partai politik terjadi pada Parmusi dibandingkan Masyumi apalagi PAN. Baik Parmusi maupun Masyumi, keduanya sama-sama hanya sekali saja pernah menjadi peserta pemilu. Masyumi pernah menjadi partai politik peserta Pemilu 1955 sementara Parmusi pernah menjadi partai politik peserta Pemilu 1971. Bedanya, bulan madu antara Muhammadiyah dan Parmusi (1968-1971) tidak sepanjang/selama antara Muhammadiyah dan Masyumi (1945-1958). Namun, intensitas pengaruh dan keterlibatan Muhammadiyah ke Parmusi jauh lebih mendalam ketimbang ke Masyumi.
Judul buku ini adalah “Parmusi: Pergulatan
Muhammadiyah dalam Partai Politik 1966-1971”. Tahun
1966 menunjukkan keputusan Tanwir Muhammadiyah Bandung yang menegaskan tentang
perlunya pendirian partai Islam baru. Sementara tahun 1971 menunjukkan
keputusan Muktamar Muhammadiyah Ujung Pandang dengan lahirnya Khittah Ujung
Pandang yang menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan partai
politik manapun termasuk Parmusi. Terlihat sekali pergulatan mendalam yang
dilakukan oleh Muhammadiyah sejak proses inisiasi pendirian hingga dinamika
perkembangan Parmusi. Hal itu terlihat ketika Muhammadiyah secara resmi selalu
menerbitkan surat keputusan dukungan terhadap Parmusi termasuk Majelis Hikmah
(kini dikenal dengan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik/LHKP) di dalamnya yang
mengambil peran penting dalam kelahiran partai tersebut. Penunjukan KH Faqih
Usman sebagai ketua Tim Tujuh sekaligus ketua umum pertama yang ditolak oleh
presiden serta akhirnya terpilihlah Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun
sebagai ketum dan sekum pertama Parmusi yang disetujui oleh pemerintah saat itu
semakin memperjelas posisi sentral Muhammadiyah di tubuh Parmusi. Hal ini
tergambarkan secara jelas di dalam buku ini.
Penulisan buku ini didasarkan pada fakta belum pernah
adanya kajian yang secara khusus membahas tentang keterlibatan Muhammadiyah
sejak pendirian, perkembangan, dan keberakhirannya dengan Parmusi. Karena itu,
tujuan utama penulisan buku ini sebenernya ingin menjawab pertanyaan yang
sering muncul terutama dari kalangan internal warga Muhammadiyah: “mengapa
Muhammadiyah kok tidak mendirikan partai politik saja agar kanal perjuangan
politik praktis ada salurannya?” Jawabannya, bercermin dari pengalaman pergulatan
Muhammadiyah yang begitu mendalam di tubuh Parmusi, pendirian partai politik
bukanlah hal mudah yang bisa berdampak negatif terhadap retaknya konsolidasi
gerakan dakwah Muhammadiyah. Keterlibatan aktif Muhammadiyah sejak proses
pendirian Parmusi hingga akhirnya mengambil keputusan menjaga jarak dari
politik praktis dengan lahirnya Khittah Ujungpandang 1971 adalah pengalaman
yang nyata dan luar biasa, bahwa politik praktis memang bukan lahan dakwah
Muhammadiyah padahal situasi sosial-politik pendirian Parmusi saat itu
sangatlah mendukung ketika warga Muhammadiyah membutuhkan saluran politik yang
saat itu belum terwadahi di partai politik yang lain. Sementara situasi
sosial-politik saat ini tidak ada alasan lagi jika saluran politik warga
Muhammadiyah tidak tersalurkan. Situasinya saat ini sudah berubah sehingga
tidak memaksa Muhammadiyah untuk terlibat secara praktis dalam politik
kepartaian. Situasi sosial-politik saat ini terbuka luas bagi warga
Muhammadiyah untuk terlibat aktif baik dalam politik kepartaian maupun politik
kepemiluan melalui tim sukses serta bisa langsung maju sebagai caleg maupun
cakada bahkan capres-cawapres dari partai yang berbeda-beda.
Namun demikian, ini bukan berarti Muhammadiyah tidak
mendukung para kadernya yang berkeingingan terjun ke dalam politik praktis.
Apapun situasinya, Muhammadiyah tentu masih memerlukan politik praktis sebagai
bagian dari dakwah Islam ke saluran politik kekuasaan. Dengan kekuasaan, tujuan
Muhammadiyah akan tercapai. Muhammadiyah justru istiqomah untuk mendorong para
kadernya yang ingin terlibat aktif dengan tetap konsisten untuk aktif di partai
politik serta masih membangun komunikasi dengan Persyarikatan di banyak
ruang/kesempatan. Artinya, terlibat dalam politik praktis jangan hanya
setengah-setengah, maju ketika mau ada hajatan pemilu, kembali lagi ke
Muhammadiyah jika kalah bertarung. Muhammadiyah mendorong agar para kadernya
tetap fokus dan istiqomah berjuang di partai politik. Tentu keterlibatan di
persyarikatan tetap diizinkan dengan tidak memegang posisi-posisi penting.
Buku ini menegaskan, bahwa pengalaman Parmusi menjadi peneguh atas lahirnya Khittah Ujungpandang 1971 yang membentuk logika kelembagaan yang kuat bagi Muhammadiyah dalam menghadapi dinamika politik praktis. Parmusi telah membentuk kesadaran Muhammadiyah dari kesadaran individual (individual consciousness) antara 1912-1971 menjadi kesadaran kelembagaan (institutional consciousness) antara 1971-sekarang. Pengalaman Parmusi juga telah membuktikan keberhasilan dalam membentuk imunitas politik bagi Muhammadiyah. Tidak ada lagi keterlibatan terdalam Muhammadiyah ke partai politik sedalam keterlibatan di tubuh Parmusi. Parmusi menjadi pengalaman pertama dan terakhir bagi Muhammadiyah dalam urusan politik praktis. Tahun 1971 menjadi batas politik Muhammadiyah yang jelas antara masa lalu (1912-1971) dan masa depan (1971-sekarang).
Post a Comment