News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

PARES Gelar Diskusi Bedah Masalah Sampah di Fisipol UGM

PARES Gelar Diskusi Bedah Masalah Sampah di Fisipol UGM

WARTAJOGJA.ID : Pengamat politik lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Nur Azizah membeberkan akar persoalan sampah yang tak kunjung selesai di sejumlah kota Indonesia termasuk Yogyakarta.

Salah satu akar persoalan sampah yang disorot Azizah akibat tak dijalankanya Undang - Undang (UU) nomor 18 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah.

"Melalui UU 18 2008 itu, TPA bukan lagi didefinisikan sebagai tempat pembuangan akhir, melainkan sudah berganti menjadi tempat pemrosesan akhir, ini perlu dipahami karena berbeda," kata Azizah dalam diskusi yang digelar Perkumpulan Analis Resiko dan Penyelesaian Konflik (PARES) di UGM Rabu 5 Juni 2024.

Azizah yang juga dosen Fisipol UGM itu menuturkan, ketika pemerintah dan masyarakat memahami jika TPA adalah tempat pemrosesan akhir maka sampah yang boleh masuk ke area ini seharusnya ditertibkan hanya sampah residu atau sampah yang tidak habis alias tidak bisa lagi dikelola lagi.

Sayangnya, kata Azizah, di sejumlah daerah, termasuk Yogyakarta, menganggap TPA ini masih sebagai tampungan beragam jenis sampah. Yang akhirnya membuat usianya tak lama atau overload.

Dari UU 18 2008 itu, pembagian tugas pengelolaan sampah juga sudah dijabarkan namun tak berjalan di lapangan.

"Tugas pihak sebagai produsen sampah, tugas pihak yang collecting (mengumpulkan) sampah, dan tugas pihak yang mereproduksi dan mengelola di akhir semua sudah ada dalam UU itu,"

"Tapi yang terjadi sekarang semua ditumpuk di akhir, produsen sampah termasuk di dalamnya kelompok masyarakat, tak merasa ada kewajiban memilah, mana yang bisa diolah dan tak bisa diolah," urai Azizah.

Tak berjalannya UU 18 tahun 2008 bukan satu satunya persoalan. Azizah mengatakan, berkaca dari kasus darurat sampah di Yogyakarta yang belakangan kembali mencuat, pihaknya mencatat ada beberapa persoalan. Yang membuat situasi penanganan sampah makin rumit.

"Sebenarnya darurat sampah di Yogyakarta bukan terjadi saat ini ketika TPA Piyungan ditutup pada awal Mei 2024 lalu,"

"Tapi sudah terlihat gejalanya sejak 2015 silam, saat berbagai metode diterapkan untuk menangani sampah di TPA Piyungan yang menampung sampah dari Kota Yogya, Bantul dan Sleman," ujar dia.

Kurun 10 tahun terakhir, sejumlah metode dilakukan menghilangkan sampah Piyungan mulai dengan metode open dumping sampai sanitary landfill.

Saat memakai metode open dumping di mana pembuangan sampah yang dilakukan secara terbuka, TPA Piyungan tak mampu mengatasi karena yang terkumpul di area itu sampah tercampur, bukan hanya sampah organik yang bisa membusuk dan hilang. Perluasan lahan telah dioptimalkan tetap tak mengatasi persoalan itu.

"Padahal dari data yang diperoleh pemerintah DIY, hanya 50 persen sampah organik di area itu, sehingga tetap menumpuk," kata dia.

Selanjutnya di TPA Piyungan coba diterapkan metode sanitary landfill untuk memperpanjang usia daya tampungnya. Metode ini menyiasati cara di mana sampah dipadatkan lalu ditutup tanah.

"Ternyata setelah diteliti oleh tesis seorang mahasiswa magister pengelolaan perencanaan kota dan wilayah (UGM), tanah untuk menguruk sistem sanitary landfill di Piyungan itu dari hasil membeli,"

"Tanah uruk itu dibeli dari tukang yang mengeruk tanah dari bukit-bukit daerah sekitar lokasi itu, sehingga sangat berbahaya ke depannya memicu longsor," kata dia.

Azizah pun menuturkan, setelah TPA Piyungan ditutup, program desentralisasi sampah yang diserahkan pemerintah kabupaten/kota belum terlihat hasilnya. Hampir setiap hari, pemandangan sampah berserakan dan bertumpuk tak terangkut di Yogyakarta selalu terlihat. Depo depo sampah pemerintah terutama Kota Yogyakarta yang biasanya bisa membuang sampah ke Piyungan overload karena tak bisa terangkut lagi.


Adapun Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Keruangan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY Sjamsu Agung Widjaja tak menampik
persoalan darurat sampah di Yogyakarta karena tak berjalannya UU 18 tahun 2008 soal peran dan wewenang pengelolaan sampah.

"TPA Piyungan sudah beroperasi sejak 1996 sampai 2024, namun ternyata saat desentralisasi sampah dilakukan belum siap sepenuhnya,"

"Namun sisi positifnya mau tak
 mau pemerintah kabupaten/kota sekarang membangun unit unit pengelolaan sampahnya sendiri meski terlambat," ujar dia.

Sjamsu mengatakan, paradigma pemilihan sampah secara mandiri di tingkat produsen memang masih minim.

"Dulu paradigmanya yang penting dikumpulkan, diangkut dan dibuang. Sekarang tidak bisa lagi karena TPA Piyungan ditutup, warga diajarkan untuk melakukan pemilahan dini," kata dia.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment