News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Fisipol UGM Gelar Diskusi 'Sepekan Setelah Coblosan Pemilu 2024'

Fisipol UGM Gelar Diskusi 'Sepekan Setelah Coblosan Pemilu 2024'

WARTAJOGJA.ID : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) mengadakan diskusi media bertajuk "Sepekan Setelah Coblosan: Quo Vadis Demokrasi Indonesia?" pada Jumat, 23 Februari 2024 di Ruang Amphitheatre BRI Work FISIPOL UGM. 

Dalam diskusi ini menyoroti sepekan setelah pemungutan suara tanggal 14 Februari 2024, di mana terlihat serangkaian permasalahan yang menimbulkan kekhawatiran akan legitimasi demokrasi elektoral di negara ini. 

Diskusi mengangkat sejumlah topik dengan narasumber ahli dibidangnya. Mulai topik Kesehatan penyelenggaraan pemilu yang menghadirkan Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH, lalu topik Hukum Pemilu: penegakan dan pelanggarannya yang menghadirikan pembicara
Dr. Yance Arizona, M.H., M.A. Kemudian topik Perilaku Sosial masyarakat terhadap proses elektoral 
yang menghadirkan Dr. Desintha Dwi Asriani, M.A. Topik Peta perolehan suara Pilpres dan Pileg yang menghadirkan Arya Budi, M.A. dan topik Konflik pasca-elektoral yang diampu Devy Dhian Cahyati, M.A. 

Dalam topik Kesehatan Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH
yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM menyoroti soal penyelenggaraan Pemilu tahun ini masih memakan korban dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).Hingga Jumat (23/2/2024), jumlah petugas adhoc KPU yang meninggal mencapai 94 orang.

Meski jumlahnya lebih sedikit daripada penyelenggaraan Pemilu tahun 2019, namun hal ini juga masih perlu perhatian khusus.

Yodi mengatakan dilihat dari riwayat pelaksaan Pemilu 2019 lalu, sebagian besar KPPS yang meninggal setelah melaksanakan tugasnya disebabkan karena kardiovaskular atau jantung.

"Dugaan kami juga ini tidak beda jauh karena meskipun mereka harus memberikan pemeriksaan lab dari sisi kolesterol, tensi dan sebagainya tapi evaluasi yang kami terima itu bukan syarat yang untuk menggugurkan tapi itu pertimbangan saja," kata Yodi.

Menurut Yodi Pemilu ke depan musti lebih humanis, lebih manusiawi. Karena kondisi yang sekarang ini kurang manusiawi, dengan beban kerja jauh di atas maksimal.

Yodi menambahkan, untuk mengantisipasi jatuhnya korban pada Pemilu yang akan datang, ada beberapa opsi yang bisa dilakukan dari sisi kesehatan oleh pemerintah.
Seperti dengan menambah hari atau kedua, dengan menambah jumlah personel.

Lebih lanjut, Yodi mengatakan, turunnya jumlah korban pada pelaksaan Pemilu tahun ini karena adanya perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggara Pemilu.

Di samping itu, adanya kontribusi dari kajian-kajian dari perguruan tinggi, salah satunya UGM, juga memberikan dampak signifikan menurunnya jumlah korban yang berasal dari KPPS.

"Rekomendasi berupa pembatasan usia, adanya screening dari BPJS yang kemudian di-introduce ke petugas KPPS itu juga turut berkontribusi, " katanya.

Yodi menambahkan, angka kesakitan ataupun kematian yang berasal dari KPPS pasca-pelaksanaan Pemilu sesungguhnya bisa dicegah. Salah satunya adalah dengan memberikan batasan kerja maksimal delapan jam.

"Kalau mau konsisten delapan jam ya harus dibikin shift. Tapi memang cost-nya akan lebih tinggi. Itu yang harus dihitung-hitung dari cost kesakitan yang ada. Kalau dari sisi waktu itu memang nggak bisa diubah lagi, karena dalam waktu singkat itu harus selesai. Ya orangnya yang harus ditambah, agar satu orang itu tidak bekerja selama 20 jam," kata Yodi.

Sementara untuk topik Hukum Pemilu: penegakan dan pelanggarannya, pakar hukum UGM Dr. Yance Arizona, M.H., M.A. mengatakan sengketa terkait hasil pemilu tidak bisa diselesaikan melalui hak angket DPR. Menurutnya penyelesaian sengketa pemilu tetap bisa dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Hak angket itu untuk membuktikan apakah ada kecurangan netralitas pemerintah memanipulasi pemilu misalkan. Itu bisa melalui hak angket. Apalagi kalau ada indikasi melakukan perbuatan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," kata Yance.

Namun demikian hak angket dinilai tetap perlu dilakukan untuk menunjukkan seberapa besar dugaan kecurangan pemilu dapat dibuktikan. Menurutnya upaya penyelidikan melalui hak angket dengan penyelesaian sengketa di MK merupakan dua hal yang berbeda. (Rls)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment