News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Kasus Antraks Merebak, Ketua Komisi B DPRD DIY Serukan Mitigasi Berbasis Gotong Royong

Kasus Antraks Merebak, Ketua Komisi B DPRD DIY Serukan Mitigasi Berbasis Gotong Royong




WARTAJOGJA.ID : Ketua Komisi B DPRD DIY Andriana Wulandari menyoroti kembali mencuatnya kasus antraks yang belakangan terjadi di Kabupaten Gunungkidul.

Kasus antraks di Gunungkidul membuat 87 warga terpapar dan satu warga meninggal positif antraks setelah mengkonsumsi daging dari ternak sapi yang terpapar.

"Antraks (Anthrax) merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis," kata Andriana Rabu (12/7).

Politisi PDI Perjuangan itu membeberkan Antraks umumnya menyerang hewan herbivora seperti sapi, kambing, domba, dan lainnya, serta dapat menular ke manusia. 

Bakteri penyebab Antraks, apabila terpapar udara akan membentuk spora yang sangat resisten terhadap kondisi lingkungan dan bahan kimia, termasuk desinfektan tertentu dan dapat bertahan selama puluhan tahun di dalam tanah. Oleh karena, keberadaan spora yang merupakan sumber infeksi ini ditemukan di tanah, antraks juga sering disebut “penyakit tanah”.

"Antraks adalah penyakit zoonosis, artinya Antraks dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Gejala yang muncul pada infeksi antraks melalui saluran pencernaan meliputi mual, muntah, diare yang kadang disertai darah. Sementara itu, untuk infeksi melalui saluran pernapasan ditandai dengan rasa sakit atau radang pada tenggorokan, sesak pada bagian dada, dan kesulitan bernapas," kata dia.

Di Indonesia sendiri, Antraks muncul sejak tahun 1884 di Lampung.

Di tahun ini, kasus Antraks kembali menghebohkan Indonesia dengan ditemukannya kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Kabupaten Gunungkidul, hingga telah memakan sejumlah korban jiwa dan puluhan warga lainnya teridentifikasi suspek. 

Diketahui penyebab Antraks berawal dari sejumlah warga di Dusun Jati, Candirejo, Semanu, Gunungkidul, yaitu ketika menggali hewan ternak yang telah mati dari kuburnya dan kemudian mengonsumsi dagingnya. Dari kasus tersebut per-tanggal 4 Juli 2023, Kemenkes mengungkapkan bahwa terdapat 93 kasus positif antraks dan tiga kasus meninggal.
Di sisi lain, ada tradisi Brandu yang masih melekat di kehidupan warga Gunungkidul yang diduga menjadi pemicunya. Tradisi ini dilakukan untuk menyembelih sapi yang sakit atau sakratul maut, lalu dagingnya dijual murah dan dibeli oleh tetangga untuk meringkankan beban warga yang memiliki hewan ternak. 

Brandu merupakan tradisi yang tujuannya baik. Meski tujuan dari Brandu semata-mata untuk membantu sesama, tetapi hal ini disayangkan karena dapat membahayakan masyarakat karena memperbesar resiko penularan Antraks. 

"Oleh karena itu, harusnya muncul mitigasi resiko kesehatan berbasis budaya atas maraknya kasus tersebut," kata dia.

Ruang partisipasi dibuka selebar mungkin, agar kolaborasi pencegahan dapat dilakukan.   
Penanganan kasus Antraks yang tidak tepat dikhawatirkan justru menjadi penyebab terhadap penyebaran agen penyebab penyakit. 

"Sumber penularan antraks adalah hewan mati, produk hewan (wol dan daging) dan material tercemar (kandang, lingkungan dan peralatan)," katanya.

 Balitbangtan menyebutkan infeksi antraks pada hewan hampir selalu melalui oral, seperti melalui pakan. Namun jika muncul kasus, biasanya sifatnya tidak merata, atau spot-perspot. Pada musim penghujan, perkembangan kasus mengikuti aliran air yang menuju lokasi pakan atau gembalaan, sehingga ternak yang makan di lokasi itu akan terpapar Antraks.

"SOP penanganan antraks meliputi radius pelaksanaan vaksinasi, cara mengubur bangkai, pembakaran bangkai dan lain-lain. Mengubur bangkai hewan terkena antraks di kedalaman 2-3 meter. Sedangkan cara pembakaran yang baik adalah dengan onsite incinerator (mobile) selama 3-4 jam, sampai menjadi abu. Disarankan mobile incinerator perlu diusahakan di daerah endemis Antraks," kata Andriana.

Jika tidak ada mobile incinerator, bisa dibakar dengan kayu bakar sebanyak 2 ton ditambah minyak tanah untuk menjadi abu. Sementara itu untuk dekontaminasi tanah diperlukan formalin 10% sejumlah 50 liter per meter persegi dalam waktu 1 jam. Untuk bangkai hewan, pemakain formalin tidak disiram ke seluruh tubuh, tetapi kebagian lubang-lubang tubuh hewan. 

Biasanya hewan mati karena Antraks terjadi leleran / perdarahan dari lubang-lubang tubuhnya. 
Pilihan menguburkan pun ada tata caranya. Tempat penguburan wajib diberi tanda, supaya identitas lokasi tidak sampai hilang dan disarankan ada data GPSnya, hal ini penting untuk antisipasi pemanfaatan lahan tersebut di masa mendatang, khususnya untuk kegiatan peternakan. 

"Mengingat spora Antraks mampu bertahan di tanah berdasarkan penelitian terakhir di Afrika sampai 250 tahun," kata Andriana.
Pengendalian penyebaran wabah Antraks dilakukan melalui pengawasan lalu lintas ternak. Ternak diijinkan keluar atau masuk suatu daerah harus berasal dari daerah yang tidak ada laporan kasus Antraks dalam 20 hari terakhir. 

Ternak harus memiliki Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH), dan tidak ada gejala klinis pada hari pengiriman. Untuk ternak yang divaksinasi boleh melintas setelah minimal 20 hari pasca vaksinasi dan maksimal 6 bulan pasca vaksinasi. Sampai saat ini, sayangnya belum ada pemeriksaan laboratorium untuk Antraks pada hewan hidup secara scientific base. 

Pedoman koordinasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Antraks sedang dibuat oleh Komnas Zoonosis. Masih munculnya penyakit Antraks dikarenakan belum ada koordinasi yang matang, seperti penutupan wilayah yang belum langsung dilakukan. 

"Komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat penting, tetapi peran masyarakat juga harus ditingkatkan dengan pemberdayaan dan gotong-royong tentunya.
Pencegahan pada manusia dapat dilakukan dengan vaksinasi," kata Andriana.

Vaksinasi adalah cara yang paling tepat untuk pencegahan dan harus rutin dilakukan. Perlu disediakan vaksin dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan daerah endemis dan area sekitarnya. Agar kemunculan kembali Antraks pada masa mendatang dapat dicegah, evaluasi atas vaksinasi Antraks harus dilakukan, agar mampu mencegah munculnya kembali kasus Antraks. 

Wilayah-wilayah endemis Antraks sebenarnya wajib mendapatkan vaksinasi Antraks secara rutin. Hasil pelaksanaan vaksinasi (pasca vaksinasi) perlu dilakukan monitoring.

"Pencegahan paling mudah yang dapat di lakukan oleh masyarakat adalah jangan mengonsumsi daging mentah atau setengah matang ketika mengunjungi daerah dengan kasus Antraks yang tinggi. Hindari kontak langsung dengan hewan ternak atau bangkai hewan yang diduga terinfeksi Antraks," kata Andriana.
Pada manusia pengobatan Antraks akan disesuaikan dengan kondisi kesehatan penderita, apakah mengalami gejala atau tidak. Penderita Antraks tanpa gejala umumnya ditangani dengan pemberian antibiotik, antitoksin, dan vaksin antraks. Sedangkan penanganan penderita bergejala akan dilakukan dengan pemberian antibiotik, seperti ciprofloxacin atau doxycycline selama 60 hingga 100 hari. Terapi antitoksin juga dapat menghilangkan racun yang disebabkan oleh infeksi Bacillus anthracis. Pada kasus serius, penderita Antraks mungkin memerlukan perawatan intensif di rumah sakit. 

"Hal ini bertujuan agar mereka mendapat bantuan pernapasan, seperti ventilator dan obat untuk meningkatkan tekanan darah atau vasopresor," tegas Andriana.
(Cak/Rls)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment