News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Alasan Pemerintah Perlu Segera Jalankan Rekomendasi UPR Dewan HAM PBB

Alasan Pemerintah Perlu Segera Jalankan Rekomendasi UPR Dewan HAM PBB



WARTAJOGJA.ID:  Komitmen kewajiban internasional Indonesia dalam pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dievaluasi untuk keempat kalinya oleh seluruh anggota PBB melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss.

Delegasi RI dipimpin oleh Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM mendapatkan sejumlah rekomendasi dari semua anggota PBB. Di antara rekomendasi tersebut ialah isu penuntutan pelanggaran HAM di Papua yang diduga melibatkan aparat keamanan, penghapusan hukuman mati, revisi Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), isu ratifikasi optional protokol konvensi anti penyiksaan, isu kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), issue disabilitas dengan berbagai intersecting issuenya seperti pendidikan, kesehatan serta lapangan pekerjaan, serta ratifikasi OP CRPD, kebebasan pers dan ekspresi, kebebasan berkumpul dan berserikat, perlindungan terhadap perempuan, anak, penghormatan dan perlindungan terhadap LGBTIQ+, pekerja migran, masyarakat adat, orang tanpa kewarganegaraan, dan lain-lain.

Dalam uraian yang dilaporkan serta respons yang disampaikan oleh delegasi Indonesia lebih cenderung menyampaikan secara normatif dan instrumentalis, Indonesia telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional, melahirkan sejumlah UU terkait hak asasi manusia dan menyampaikan sejumlah kegiatan namun hampir sama sekali melupakan (tidak melaporkan) implementasi sejumlah konvensi dan UU tersebut dan apakah implementasi tersebut sudah dinikmati oleh rakyat secara inklusif.

Dalam kenyataannya hambatan utama implementasi sejumlah konvensi dan UU tersebut adalah juga produk kebijakan negara yang diskriminatif, dan implementasinya yang nir-HAM, represif dan anti demokrasi.

Menanggapi rekomendasi tersebut, berbagai komponen masyarakat sipil di Indonesia menyerukan pemerintah untuk menerima dan melaksanakan seluruh rekomendasi UPR dengan menggunakan pendekatan HAM.

Selain itu, berbagai komponen masyarakat sipil juga menilai penting untuk melibatkan korban pelanggaran HAM, masyarakat sipil, dan berbagai institusi HAM karena hal itu akan memberikan jaminan keadilan untuk para korban pelanggaran HAM dan memajukan akuntabilitas HAM di Indonesia.  

"Dalam isu soal hak Penyandang Disabilitas dan intersecting issuenya, antara lain ada rekomendasi yang mendukung ratifikasi OP CRPD atau Konvensi PBB tentang Hak penyandang disabilitas. Ratifikasi OP CRPD ini akan sangat mendukung reformasi kebijakan dan perubahan yurisprudensi tentang Hukum dan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap Hak penyandang disabilitas termasuk KUH Pidana maupun KUH Perdata yang masih mempersoalkan kapasitas Hukum atau legal capacity dari penyandang disabilitas intellectual dan psychosocial menjadi kelompok yang berada di bawah pengampuan," papar Risnawati Utami selaku Founder and Disability Rights Advisor of OHANA Indonesia di Yogyakarta, Kamis (10/11).

Selain itu, lanjut Risnawati, penghormatan dan pemenuhan Hak penyandang disabilitas ditekankan oleh banyak negara selama sidang UPR 2022 ini untuk mendapatkan pengakuan serta perlindungan serta pemenuhan yang setara dengan Hak masyarakat sipil lainnya.

Isu penting yang lain adalah panti rehabilitasi yang sempat disinggung dan menjadi perhatian bahwa panti bertentangan dengan pasal 19 CRPD dan mendorong semua negara mendukung promosi dan pelaksanaan kehidupan yang Mandiri dan bebas panti secara bertahap.

"Pendekatan yang berbasis belas kasihan dan berbasis medis yang masih saja dilakukan oleh negara dan berbagai institusinya harus terus menerus dieliminasi agar penyandang disabilitas mendapatkan haknya yang setara dan dijamin oleh negara," kata dia.

Sementara dalam isu hukuman mati, Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa mempertahankan hukuman mati atas nama pemberantasan narkotika dan terorisme sebagaimana disampaikan Menkumham Yasonna Laoly dalam paparannya di sidang UPR merupakan narasi dangkal, tidak berbasis ilmiah dan kental sentimen politik.

Sebab faktanya kasus narkotika dan terorisme trennya tetap tinggi. Sejalan dengan lebih dari 23 negara di dunia yang memberikan catatan penghapusan hukuman mati di sidang UPR, Indonesia perlu menyinkronkan kebijakan penghapusan hukuman mati dalam hukum nasional.

Terlebih saat ini Indonesia tengah membahas perubahan RKUHP yang mempertahankan hukuman mati. Sembari itu, penting bagi Indonesia melakukan moratorium hukuman mati dan komutasi terhukum mati yang faktanya menggerus kesehatan fisik dan mental terpidana mati dan berkontribusi pada tingginya deret tunggu kematian yang melanggengkan penyiksaan atau hukuman berlapis.   

Menyoal kebebasan pers dan ekspresi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat berbagai rekomendasi dari sejumlah negara mulai dari perlindungan terhadap pers hingga hak publik atas informasi yang bisa dipercaya.

Karena itu, AJI berpandangan bahwa penting bagi negara untuk segera membentuk sistem perlindungan jurnalis secara komprehensif agar tidak ada lagi jurnalis yang menjadi korban kekerasaan saat bertugas. Pembentukan sistem ini harus melibatkan Dewan Pers, organisasi jurnalis, akademi, dan organisasi masyarakat sipil lainnya.

Berdasarkan monitoring AJI sejak 1996-2010, sedikitnya terdapat sembilan kasus pembunuhan terhadap jurnalis dengan delapan kasus di antaranya belum terungkap dalang utamanya.

Selain itu terdapat 935 kasus serangan dan jenis hambatan lainnya terhadap jurnalis dan media sejak 2006 hingga akhir Oktober 2022. AJI juga mendorong pemerintah dan DPR untuk menghapus pasal-pasal karet di sejumlah Undang-Undang seperti UU ITE dan KUHP yang kerap digunakan untuk mempidanakan jurnalis.

Selain itu, penting bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang pro-kebebasan pers seperti membuka akses jurnalis, termasuk jurnalis asing ke Papua dan Papua Barat. Ini sekaligus untuk menjamin hak warga negara mendapatkan informasi yang dapat diandalkan dari jurnalis yang bekerja secara bebas dan profesional. (Cak/Rls)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment