Kurikulum Merdeka, Begini Catatan Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan
WARTAJOGJA.ID : Polemik soal rencana pemerintah yang bakal menerapkan Kurikulum Merdeka pada jenjang sekolah tingkat menengah atas (SMA) tahun ajaran 2022/2023 terus bergulir.
Sorotan atas kurikulum yang diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim pada 11 Februari 2022 itu salah satunya soal penghapusan konsentrasi jurusan baik IPA, IPS, maupun Bahasa.
Peneliti pendidikan UGM Yogyakarta Muhammad Nur Rizal menduga rencana penciptaan Kurikulum Merdeka itu untuk mengatasi tiga persoalan utama pendidikan saat Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19 dan membuat sekolah dalam waktu tak menentu musti menggelar pembelajaran daring.
"Asumsi kami kurikulum itu untuk mengatasi learning loss pasca pandemi," kata Rizal saat menggelar pertemuan virtual dengan tak kurang 800 guru di tanah air Selasa petang 22 Februari 2022.
Dosen Departemen Teknik Elektro dan Informasi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada itu menuturkan, asumsi kedua, dengan materi yang disusun, Kurikulum Merdeka itu berupaya membuat sistem pendidikan saat ini bisa mengejar ketertinggalan belajar selama 20 tahun terakhir. Baik sisi literasi dan numerasinya.
Hal ini, ujar Rizal, dilihat dengan naskah akademik yang disiapkan. Di mana sekitar 70-80 persen menekankan penguasaan mata pelajaran dan 20-30 persen project based learning.
"Pendekatan project based learning ini pun sudah ada di kurikulum-kurikulum sebelumnya, hanya beda namanya, pendekatannya belum menyentuh kultur sekolah," kata Rizal yang juga pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu.
Ketiga, asumsi Rizal, kurikulum ini juga masih mencoba memenuhi kebutuhan industri.
Rizal melihat, Kurikulum Merdeka masih berorientasi holistik untuk siswa. Agar menguasai aspek akademis-non akademis serta berbasis kompetensi dan bukan konten.
Namun pendekatan yang disasar Kurikulum Merdeka itu menurutnya lebih menekankan pada proses pembelajaran di lingkungan sekolah saja. Tetap kurang memberi porsi pembelajaran siswa yang melibatkan tiga lingkungan sekolah, rumah, dan masyarakat.
"Sebab Kurikulum Merdeka ini hanya tetap berfokus pada proses pembelajaran berbasis project dan pengurangan kepadatan materi," kata dia.
Misalnya saja, di jenjang SMA, kurikulum itu menuntut penguatan profil Pelajar Pancasila melalui pembelajaran berbasis project yang dilakukan minimal tiga kali dalam satu tahun ajaran. Lalu siswa diminta menulis esai ilmiah sebagai syarat kelulusan. Hal yang sama soal mencapai profil Pelajar Pancasila ini juga diterapkan untuk jenjang sekolah luar biasa (SLB) yang siswanya tidak memiliki hambatan intelektual.
"Hal ini bagus namun hanya dalam konteks mendorong para guru belajar memahami apa itu project based learning," kata Rizal.
"Tapi apakah bisa, profil Pelajar Pancasila ini diterjamahkan hanya pada pembelajaran berbasis project saja? Apalagi jika satuan pendidikannya belum mampu memiliki cara bepikir holistik," kata dia.
Rizal justru khawatir, para guru terkotak pola pikirnya. Seperti menganggap hanya mata pelajaran tertentu saja yang butuh project based learning dan mata pelajaran lain tetap dianggap sama pendekatannya.
Tak berhenti di situ. Rizal menambahkan, strategi pengembangan profesionalisme guru dalam Kurikulum Merdeka juga patut dicermati.
Dalam Kurikulum Merdeka ini, Rizal melihat, soal adanya sekolah dan guru penggerak yang diberi intervensi khusus pemerintah berupa dana pengembangan khusus yang untuk satu sekolah penggerak bisa mencapai ratusan juta rupiah dan satu guru bisa belasan juta rupiah.
"Bagaimana lalu perlakuan dengan 500 ribu lebih sekolah dan sekian juta guru yang lain, apakah dapat perlakuan sama?" kata dia.
Rizal menuturkan, terkait rencana penerapan Kurikulum Merdeka itu ia mendorong pemerintah juga lebih dulu mempertimbangkan sejumlah kekhawatiran yang diungkap berbagai pihak.
Menurutnya sedikitnya ada empat keresahan para pemerhati terkait rencana penerapan kurikulum itu. Pertama, minimnya naskah akademik sehingga tidak ada kerangka acuan kuat dalam membangun kurikulum.
Kedua, soal sifat kurikulum yang sangat operasional sehingga menyoal bobot jam mata pelajaran, bukan bersifat kerangka dasar yang bersifat umum. Ketiga, berpotensi cacat prosedur karena tidak melibatkan badan standarisasi nasional pendidikan dalam penyusunannya.
"Juga kekhawatiran soal semiotika nama Kurikulum Merdeka yang mengesankan kurikulum ini hanya berorientasi pada program pemerintah saat ini, beresiko tidak berlaku dalam jangka panjang," kata dia. (Cak/Rls)
Post a Comment