Transformasi Sebuah Keniscayaan, Pelaku Pariwisata Diminta Adaptif Perkembangan Dunia Digital
MAGELANG – Pegiat literasi digital nasional Dr. Riant Nugroho menerima transformasi digital dengan cara menghindari musibah. Tranformasi digital, bagi Riant, ia maknai sebagai sebuah anugerah yang harus dirawat dan dikembangkan untuk kemanfaatan umat manusia, ketimbang menjadi sebuah musibah kemanusiaan.
Untuk itu, dalam diskusi virtual bertajuk ”Transformasi Digital: Musibah atau Anugerah” untuk masyarakat Kabupaten Magelang, Jumat (27/8/2021), Riant mengawali paparannya dengan mengutip teori terkenal yang pernah disampaikan oleh Everett Rogers dalam bukunya ’Diffusion of Innovations’ pada 1964. Teori ini meyakini, sebuah inovasi terdifusi ke seluruh lapisan masyarakat dalam pola yang bisa diprediksi.
”Secara umum, difusi inovasi adalah teori tentang bagaimana sebuah ide dan teknologi baru tersebar dalam sebuah kebudayaan. Difusi dalam hal ini sebagai proses di mana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui berbagai saluran dan jangka waktu tertentu dalam sebuah sistem sosial,” tutur Riant dalam webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) itu.
Riant menyatakan, saat ini yang perlu dilakukan adalah beradaptasi dengan perkembangan yang ditawarkan oleh dunia digital. Karena, jika tidak, maka akan terlindas, ditinggalkan, bahkan dilenyapkan oleh kemajuan dunia digital. Contoh paling nyata adalah apa yang terjadi dalam dunia pariwisata, yang 70 persen konsumennya telah beralih menggunakan teknologi digital.
”Mulai dari riset destinasi hingga pembayaran saat membeli paket wisata, semuanya dilakukan secara digital. Nasib travel agen akan serupa warung telekomunikasi (wartel) yang tergilas perkembangan teknologi jika tidak melakukan transformasi signifikan,” sebut Riant.
Contoh lain, lanjut Riant, adalah valuasi Gojek US$ 10 miliar (Rp 142 triliun), 14 kali lipat dari kapitalisasi pasar maskapai Garuda Rp 11,07 triliun. Hal itu makin membuktikan bahwa perusahaan yang telah bertransformasi digital maupun perusahaan digital memiliki peluang bertumbuh lebih besar dibanding perusahaan yang belum bertransformasi.
Alumni Komunikasi UGM ini mengungkapkan, transformasi tidak hanya menyentuh sektor ekonomi dan pariwisata saja. Di bidang keagamaan, kini banyak ustadz atau kiai telah memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Dengan media sosial maupun saluran lainnya, kini mereka lebih mudah menjangkau umat. Hal yang sama juga terjadi di pondok pesantren ataupun madrasah yang mulai menggunakan kemajuan digital dalam melakukan kegiatan belajar mengajar.
Musibah atau anugerah, menurut Riant lebih kepada manusia sebagai penggunanya. Ibarat sebuah senjata, di tangan orang baik ia bermanfaat, sebaliknya di tangan orang jahat ia jadi musibah. ”Semua yang diciptakan Tuhan, termasuk melalui ciptaan-Nya adalah berkah. Tergantung kita, mau menjadikannya sebagai berkah atau musibah,” pungkas Riant.
Narasumber lain dalam webinar ini, dosen FIB Universitas Indonesia Taufik Asmiyanto menjawab pertanyaan tema diskusi ”Transformasi Digital: Musibah atau Anugerah” dengan jawaban: tergantung dari sudut pandang. Ia sendiri meyakini, transformasi atau perubahan adalah sebuah keniscayaan, dengan mengutip kata-kata terkenal seorang filsuf Yunani Herakleitos:
”Panta rhei, kai uden menei” yang artinya: semuanya mengalir (berubah) dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap (kekal). Yang kekal adalah perubahan itu sendiri,” ungkap Taufik.
Taufik Asmiyanto mengatakan, transformasi adalah sebuah proses perubahan yang terjadi secara radikal/ekstrem yang melibatkan sumber daya yang dimiliki termasuk teknologi digital (teknologi visual, komputasi awan dan komputasi mobile) guna menciptakan ekosistem bisnis yang memudahkan masyarakat.
Dari sisi budaya digital, menurut Taufik, teknologi digital mempunyai karakter: budaya teks media yang berkesinambungan (unfinished text), teks berkaitan dengan teks yang lain (intertextualita), proses penyalinan (reproduksi) dan distribusi dilakukan dengan instan (digitalisasi), dan media jadi saluran bebas masyarakat menuangkan ide, gagasan dan suaranya.
”Meski begitu, budaya digital mempunyai kekuatan: kelemahan manusia tertangani, kapasitas manusia meningkat, dunia transparan, budaya berbagi meluas. Kelemahannya, privasi hilang, fakta dan hoaks bercampur, diri material dan individual: artinya pikiran, waktu, dan energi kita dihabiskan untuk urusan diri dan dunia,” jelas Taufik.
Webinar yang dipandu oleh moderator Harry Perdana itu, juga menampilkan narasumber Muawwin (penulis dan Co-founder Akademia Virtual Media), Siti Mutmainah (Kepala Seksi Tenaga Kependidikan Kantor Kementerian Agama Jawa Tengah), dan Rinaldi Nur Ibrahim selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment