Memupuk Toleransi dan Demokrasi Agar Subur Di Media Sosial
PATI: Budayawan dan pendiri langgar.co Irfan Afifi mengatakan media sosial bisa menjadi sarana siswa dalam meningkatkan toleransi dan demokrasi di era digital ini.
"Tapi sebelumnya kita perlu memahami realitas digital secara utuh, sebagai kunci sarana siswa dalam meningkatkan toleransi dan demokrasi di media sosial itu," kata Irfan saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema "Media Sosial sebagai Sarana Siswa dalam Meningkatkan Toleransi dan Demokrasi" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (14/10/2021).
Dalam webinar yang diikuti 200 lebih peserta itu, Irfan menyebut bahwa transformasi digital mempengaruhi kesadaran manusia. Ruang digital saat ini hadir seolah menjadi dunia baru yang berusaha menyerap aktivitas manusia dari realitas konkret ke dunia maya. "Bahkan sekarang muncul yang namanya hiper-realitas," urainya.
Hiper-realitas ini, tanpa disadari mempengaruhi aktivitas kemanusiaan kita baik dengan diri sendiri maupun manusia lain di sekitar kita. Terutama ketika media sosial dengan kecepatan dan kebebasan yang ditawarkan seringkali membuat otomatisasi sehingga membuat hilangnya nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
"Sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan dunia digital, kita harus bisa memposisikan diri, kapan saatnya kita berinteraksi di media sosial, kapan pula waktunya secara langsung berinteraksi dengan realitas nyata," tegasnya.
Irfan menambahkan perlunya bersikap bijaksana di ruang digital dengan menjaga ruang digital. Sebab sikap pribadi yang dihasilkan sebenarnya merupakan olah budi manusia di dunia nyata yang digeret masuk di dunia digital.
"Karena bagaimanapun faktor utama dari dunia digital adalah manusia itu sendiri, maka kita harus senantiasa bisa memanusiakan manusia untuk kebaikan bersama ruang disekitar kita khususnya di media sosial," jelasnya.
Irfan mengatakan bahwasanya bermedia sosial secara berkebudayaan menjadi satu jalan untuk mewujudkan keberadaban.
Transformasi digital menuntut kita juga untuk selalu berbudaya, terutama ketika berinteraksi dengan manusia lain yang memegang otoritas atas ruang digital dengan selalu berorientasi kepada nilai-nilai baik manusia sebagai tujuannya.
"Jadi berbudaya di ruang digital adalah berkemanusiaan, berupaya memanusiakan manusia lain," kata dia.
Narasumber lain, Zainudin MZ Monggilo selaku dosen Departemen Komunikasi Fisipol UGM mengatakan saat ini hoaks terus bertambah dan bervariasi dari tahun ke tahun.
"Bahkan ujaran kebencian di media sosial saat ini, sudah dipandang sebagai hal biasa. Padahal selain itu ada kejahatan lain seperti ancaman perundungan atau bullying, yang juga seperti sudah membudaya," kata dia.
Zainudin mengatakan jika tidak ada budaya digital itu maka makin besar ancaman konten negatif menyebar di ruang digital. Konten radikal ini menyasar kaum milenial yang rentan terpapar, di mana dalam penelitian perempuan yang paling berpotensi lebih mudah terpengaruh dibandingkan laki-laki.
"Kita perlu memiliki wawasan kebangsaan dalam bingkai kebhinekaan dan toleransi," kata dia. Caranya dengan menolak provokasi intoleransi yang mengancam kerukunan keragaman identitas budaya di Indonesia. Juga lebih hormat, apresiatif, dan aktif menerima dan merayakan perbedaan.
Webinar itu juga menghadirkan narasumber peniliti Nur Arifin, dosen UIN Raden Mas Said Surakarta Nur Rohman serta dimoderatori Fikri Hadil serta Julia RDGS selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment