News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Jurus Menghadapi Distorsi Informasi

Jurus Menghadapi Distorsi Informasi




Klaten: Transformasi digital benar-benar telah mengubah dunia. Bayangkan. Pada
era 1980-an hingga 1990-an, masyarakat dunia masih berkomunikasi secara
analog dengan beragam kelebihan dan kekurangannya. Ada yang memakai
narasi, surat menyurat hingga telepon kabel. Itu yang membuat waktu,
jarak, dan biaya seringkali masih menjadi pertimbangan dalam membuat
keputusan.
Lebih dari itu, informasi masih menjadi hal yang berharga dan tersampaikan
dengan baik. ”Itu sebabnya, pada era analog, proses pertukaran informasi
menjadi begitu dihargai. Etika diperhatikan, karena komunikan dan
komunikator harus face to face dan setidaknya sudah saling mengenal,” ujar
dosen Fisipol Universitas Diponegoro (Undip) Yuliana Kristanto.
Hal itu disampaikan Yuliana saat memberikan materi dalam webinar literasi
digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)
untuk warga di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 8 Juni lalu. Mengusung
tema ”Menghadapi Distorsi Informasi dalam Transformasi Digital”, webinar
ini menghadirkan empat narasumber.
Selain Yuliana Kristanto, narasumber yang lain adalah Diana Aletheia dari
Kaizen Room; Thoboroni, dosen Universitas Borneo; Nia Sarinastiti, dosen
Ilmu Komunikasi Unika Atmajaya Jakarta; dan Zacky Ahmad, entertainer,
yang bertindak sebagai moderator.
Komunikasi analog sudah lama berlalu. Kini, di era komunikasi model digital,
realitasnya telah jauh berubah. Waktu dan jarak tidak lagi membutuhkan
biaya besar. Informasi pun menjadi hal yang mudah didapatkan. Antara
komunikan dan komunikator juga tidak perlu harus saling mengenal.
”Namun, di era komunikasi digital ini pula kebenaran informasi justru
menjadi sulit dipastikan,” kata Yuliana.
Informasi tidak mudah dipastikan kebenarannya, lantaran di dunia digital
terdapat banyak pengguna internet yang gemar membuat konten negatif
dengan beragam motivasi. Di antaranya, masih kata Yuliana, si pembuat
konten negatif itu memiliki kepentingan ekonomi (mencari uang).

Tidak tertutup kemungkinan juga ada kepentingan politik (menjatuhkan
kelompok politik tertentu), mencari kambing hitam, atau memecah belah
masyarakat berkaitan dengan suku agama ras dan antargolongan (SARA).
Terkait itu, lanjut Yuliana, diperlukan etika saat berselancar di internet, atau
yang dikenal dengan sebutan netiket.
”Hal paling mendasar dari netiket adalah kita harus selalu menyadari bahwa
kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain. Bukan sekadar
dengan deretan karakter huruf di layar monitor, namun dengan karakter
manusia sesungguhnya,” ujarnya.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi konten negatif? Yang
pertama, simpul Yuliana, kita mesti membuat pertanyaan awal untuk
dianalisis. Yakni, siapa yang memproduksi atau mengirim informasi? Juga,
apa tujuan informasi itu dibuat? Sesudah itu, kita perlu menguji
kebenarannya dengan mencari informasi dari sumber-sumber yang kredibel.
Hal lain yang juga perlu kita lakukan adalah jangan ikut mendistribusikan
konten negatif. Terkait itu, pertanyaan dasar yang perlu dicerna adalah,
apakah kita perlu menyebarkan setiap informasi yang kita miliki?
”Kita perlu memiliki beberapa pertimbangan sebelum menyebarkan suatu
informasi. Di antaranya, apakah informasi itu benar? Apakah informasi itu
penting? Apakah informasi itu bermanfaat bagi keselamatan dan perbaikan
situasi masyarakat jika disebarkan?” urai Yuliana, seraya mengajak
masyarakat untuk tidak mudah terpukau ketika menerima informasi. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment