Jadikan Ruang Digital Tempat Praktik Berbudaya
Batang – Ruang digital yang dipenuhi oleh individu-individu dengan latar belakang budaya, agama, adat istiadat dan Bahasa yang berbeda-beda adalah tempat yang sangat pas untuk praktik berbudaya melalui aktivitas sehari-hari. Harapannya, di ruang itu pula tercipta ruang diskusi yang sehat.
“Sebarkan konten positif. Wujudkan Cinta Tanah Air. Promosikan gaya hidup yang berkualitas, saling menghargai, santun dan bermartabat, menguatkan harmoni dan kebersamaan,” ungkap Leviane JH Lotulung, Dosen Fisipol Universitas Sam Ratulangi, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Senin (4/10/2021).
Anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) ini menyampaikan jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk (SP) 2020 sejumlah 270,2 juta jiwa. Negeri ini memiliki 700 bahasa daerah dan 1.340 kelompok etnis atau suku.
Potensi yang sangat besar itu merupakan modal utama untuk mewujudkan toleransi. Pada dasarnya manusia adalah aktor budaya, sedangkan ruang digital merupakan wujud praktik, produk dan perspektif budaya.
Budaya adalah gagasan dan rasa, tindakan dan karya yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan masyarakat. Budaya juga sebuah cipta, karya, dan karsa manusia.
Adapun penjelasannya, praktik berarti pola interaksi sosial atau perilaku mewakili pengetahuan tentang "apa yang harus dilakukan kapan dan di mana" serta bagaimana berinteraksi dalam budaya tertentu.
Sedangkan produk merupakan kreasi berwujud atau tidak berwujud dari budaya tertentu. Produk mencerminkan perspektif budaya. Ada produk berwujud, ada juga yang tak berwujud. Contoh produk berwujud adalah lukisan, karya patung, ukiran, karya sastra. Produk tak berwujud terdiri dari dongeng lisan, tarian, ritual sakral, sistem pendidikan, hukum.
Sementara perspektif adalah makna, sikap, nilai, keyakinan, gagasan yang mendasari praktik dan produk budaya masyarakat. Perspektif budaya mewakili pandangan sekelompok masyarakat tentang dunia.
Di dalam area kompetensi literasi digital, menurut Leviane, yang dimaksud budaya digital atau digital culture adalah kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
Pada webinar bertema ”Media Sosial Sebagai Sarana Meningkatkan Toleransi dan Demokrasi” kali ini, narasumber lainnya, Muhammad Yusuf, mengajak peserta untuk mengenal karakter masing-masing produk media sosial.
Facebook, jumlah pengguna menduduki peringkat pertama, pengguna terlalu heterogen sehingga informasi yang muncul terlalu beragam. Twitter mendistribusikan informasi dengan cepat dan ringkas. Karakter huruf dibatasi.
Instagram memiliki fitur menarik untuk meningkatkan kualitas gambar maupun video yang diunggah. Jenis unggahan terbatas gambar dan video. Sedangkan youtube menyajikan informasi berupa video dengan durasi yang tidak terbatas. Konten video terlalu beragam serta pop-up iklan.
“Media sosial adalah cerminan ruang publik masa kini. Teknologi hendaknya digunakan untuk kebaikan dan bermanfaat bagi orang lain,” ujarnya.
Dipandu moderator Thommy Rumahorbo, webinar juga menghadirkan narasumber Widiasmorojati (Entrepreneur), Joko Tetuko (Kepala Dinas Sosial Kabupaten Batang), Heru Prasetia (Pegiat Literasi Media), Ganjar Pranowo (Gubernur Provinsi Jawa Tengah) sebagai Keynote Speech dan Adinda Daffy (News Presenter) sebagai Key Opinion Leader. (*)
Post a Comment