News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Hati-Hati Kritik Berujung Pencemaran Nama Baik Media Digital

Hati-Hati Kritik Berujung Pencemaran Nama Baik Media Digital





GROBOGAN : Publik Tanah Air mungkin belum lupa atas proses panjang kasus pencemaran nama baik yang menyeret Prita Mulyasari beberapa waktu silam. Kasus Prita itu bermula saat ia menulis keluhannya terhadap Rumah Sakit Omni Internasional melalui surat yang dikirim kepada sejumlah rekannya melalui e-mail dan dengan cepat beredar luas di berbagai milis dan blog hingga manajemen rumah sakit memperkarakan kasus itu ke meja hijau.

Setelah melewati proses hukum panjang hampir lima tahun Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dan membebaskan Prita dari tuduhan pencemaran nama baik. 

"Dari kasus Prita itu kita bisa belajar berbagai hal khususnya kehati hatian terkait penggunaan platform digital dalam kaitannya dengan pelayanan publik," kata Daryono, editor Tribunnews, saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Tata Kelola Pelayanan Publik Berbasis Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Rabu (6/10/2021).

Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Daryono mengatakan
etika kritik pelayanan publik ada beberapa hal yang bisa dicermati.
"Usahakan sampaikan aduan secara langsung, jika ingin menyampaikan keluhan di media sosial pastikan tidak berpotensi menjadi pencemaran nama baik," kata dia.

Agar aman dari gugatan hukum, lanjut Daryono, hindari penyebutan nama orang atau lembaga secara spesifik. "Tetapi paling penting, gunakan bahasa yang sopan kritik harus disampaikan berbasis data dan bukti pendukung," ujarnya.

Daryono mengatakan agar masyarakat hati-hati dengan jerat undang-undang ITE nomor 19 tahun 2016. Khususnya pasal 27 ayat 3 yang berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. 

"Ancaman untuk pasal ini adalah pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar," kata dia.

Sedangkan UU ITE pasal 28 ayat 2 menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku agama ras dan antar golongan (SARA).

Narasumber lain, Pegiat literasi pendidikan Yanuar D. Saputra mengatakan pelayanan publik idealnya bisa bersifat partisipatif seperti memuat adanya layanan pengaduan dan keterlibatan masyarakat.

"Contohnya yang dilakukan BPS RI lewat layanan Whistleblowing System sebagai aplikasi yang disediakan jika masyarakat memiliki informasi dan ingin melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan BPS," kata dia.

Pelayanan publik juga mesti transparan. "Kalau bisa terbuka untuk apa tertutup? Persyaratan prosedur biaya dan lain sejenisnya mestinya tidak diskriminatif, mudah dan murah, efektif dan efisien," kata Yanuar.

Yanuar mengatakan pelayanan publik pun harus berkeadilan. Jenis-jenis pelayanan publik berbasis teknologi informasi dan komunikasi itu antara lain publikasi interaksi dan transaksi.

Webinar ini juga menghadirkan narasumber Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Ilmu Administrasi Bisnis Universitas Indonesia Retno Kusumastuti, dosen Universitas Budi Luhur Jakarta Anggun Puspita Sari, serta dimoderatori Mafin Rizki juga Bella Ashari selaku key opinion leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment