News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Dua Wajah Teknologi Digital: Menyenangkan Sekaligus Menyeramkan

Dua Wajah Teknologi Digital: Menyenangkan Sekaligus Menyeramkan





Pemalang - Perkembangan internet telah lama diprediksi akan memicu terjadinya Digital Dystopia atau juga disebut Dystopian. Dystopia menunjuk pada kondisi kehidupan masyarakat yang tidak diinginkan atau bahkan sangat menakutkan. Dystopia merupakan lawan kata dari Utopia/Utopian, yang berarti bayangan kehidupan yang sangat diinginkan dari perkembangan teknologi digital.

"Wajah seram Dystopian pada teknologi digital contohnya aksi hoaks atau penyebaran berita bohong, fitnah, hate speech, politik identitas, dusta yang dipercaya, polarisasi politik ideologis, dan sejenisnya," ujar dosen senior Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogyakarta Muhammad Najib Azca dalam webinar literasi digital besutan Kementerian Kominfo dan Debindo bagi warga Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, 24 Juni 2021.  

Dalam webinar yang mengangkat topik "Komunikasi Massa di Era Transformasi Digital" itu, Najib mengatakan lawan dari Dystopian adalah Utopian. "Wajah cerah Utopian dari perkembangan teknologi digital seperti terciptanya jejaring global, kreativitas, kolaborasi, inovasi dan hal-hal yang positif dari dunia digital itu," kata Direktur Youth Studies Center Fisipol UGM (YOUSURE) itu.

Dalam webinar yang juga menghadirkan narasumber M. Nurkhoiron (mantan komisioner Komnas HAM), Rizqika Alya Anwar dari Kaizen Room, dan Zain Handoko, pengajar pesantren Aswaja Nusantara, itu  Najib Azca mengatakan untuk dapat memanfaatkan perkembangan teknologi itu dengan semangat positif, bukan sebagai kelompok dystopian, yang menjadi kunci ada dua hal.

"Inovasi dan kolaborasi adalah kuncinya. Sebab disrupsi digital saat ini telah menghasilkan transformasi besar yang hanya bisa dijawab dengan inovasi dan kolaborasi itu," kata Najib.

Kombinasi disrupsi digital plus kondisi pandemi Covid-19 saat ini telah mengakselerasi transformasi revolusioner di jagad raya. "Kita juga perlu memiliki semangat kewarganegaraan digital yang demokratis dan beradab. Dengan contohnya memperkuat literasi digital kritis, yakni partisipasi sebagai masyarakat yang kritis, produktif dan bertanggung jawab," ujar Najib.

Semangat itu tertuang dalam bagaimana cara kita mengevaluasi terhadap akurasi, perspektif, dan validitas sumber informasi digital. "Juga, bagaimana menempatkan dan mengembangkan ruang digital untuk berperan bersama dan saling menghormati pengguna atau warga digital lain," imbuh Najib.

Menurut Najib, tiap pengguna dapat memanfaatkan perkembangan teknologi digital untuk terlibat dan menjadi kekuatan positif di masyarakat," katanya.

Sementara Zain Handoko, pengajar pesantren Aswaja Nusantara mengatakan, aktivitas komunikasi yang berlangsung di masyarakat pada era digital menghadapi banyak tantangan. Setidaknya ada empat hal yang perlu dipahami. Pertama, luasnya wilayah Indonesia yang menyebabkan terjadi kesenjangan digital. 

Kemudian, penggunaan teknologi yang menuntut skill tersendiri, sehingga seringkali bertabrakan dengan kebiasaan konvensional. Lalu, masih besarnya angka buta huruf dan rendahnya minat baca masyarakat serta kesenjangan sosial juga turut mempengaruhi perataan kemampuan mengakses teknologi digital. 

Sementara, ibarat pisau bermata dua, perkembangan teknologi informasi juga telah memicu dampak negatif dan positif. Dampak negatifnya, kata Zain, gelimang informasi ini telah mengurangi keeratan hubungan antar-individu. Lalu, kenakalan dan tindak penyimpangan pada remaja, melemahkan rasa gotong royong, dan membuat manusia malas. 

”Sedangkan dampak atau aspek positif dari perkembangan teknologi adalah banyak media massa tumbuh, memudahkan komunikasi antar individu dan melahirkan berbagai macam variasi komunikasi,” ujar Zain Handoko (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment