News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Bikin Konten Agama di Medsos Tak Bisa Sembarangan

Bikin Konten Agama di Medsos Tak Bisa Sembarangan




Kabupaten Semarang – Media sosial adalah ruang yang memberi kebebasan orang untuk memproduksi dan membagikan konten. Namun tidak lantas segala bentuk konten bisa diunggah dan dibagikan kepada publik. Hal ini dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kominfo RI untuk masyarakat Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dengan tema “Membuat Konten Agama yang Positif di Media Sosial”. 

Nabila Nadjib (tv presenter) memandu diskusi dan menghadirkan empat narasumber: Eko Sugiono (digital marketer expert), Abdul Rohim (redaktur Langgar.co), M. Aziz Nasution (pemred Channel9.id), Muhammad Hanif (Ketua Pemuda Ansor Kab Semarang). Serta Cindy A. Endge (content creator) sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber membahas tema diskusi dari perspektif empat pilar digital: digital ethics, digital culture, digital skills, digital safety. 

Pemimpin Redaksi Channel9.id M. Aziz Nasution menjelaskan dalam membuat konten apapun itu harus menyadari bahwa ketika akan diunggah, konten tersebut tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang tetapi semua orang. Sehingga akan menjadi masalah ketika konten yang dibuat itu ternyata menyinggung perasaan orang lain. 

Dalam hal konten agama, Aziz Nasution mennyebutkan bahwa sekitar 58 persen anak muda belajar konten agama melalui media sosial. Alasannya beragam, mulai dari kemudahan akses, tertarik dengan figur pendakwah, konten yang disampaikan mudah dipahami, dan konten yang disampaikan sesuai dengan permasalahan yang tengah dihadapi. 

Namun permasalahannya, di ruang yang informasi dapat dibuat oleh siapa saja, kenyataanya tidak semua konten berbasis agama mengandung unsur dakwah yang menyejukkan dan mengajak pada kedamaian. Dalam kurun tiga tahun terakhir ada sekitar tiga ribu konten yang di-take down Kominfo karena berbau SARA, dan sekitar 54 konten mengandung ujaran kebencian dan permusuhan dengan menyerang keyakinan agama orang lain. 

“Membuat konten agama selain dibutuhkan pemahaman dengan tema yang akan disampaikan juga perlu memahami literasi digital. Memahami bahwa konten agama juga akan dilihat oleh orang di luar target audiens sehingga perlu kehati-hatian dalam menyampaikan. Tidak menyampaikan konten agama yang mengandung hoaks, ujaran kebencian. Konten hendaknya disampaikan dengan etis, bahasa yang sejuk dan tidak provokatif,” terang Aziz Nasution. 

Dalam dunia digital berlaku network etiquette atau dikenal netiket ketika berkomunikasi dan berinteraksi di ruang digital. Netiket merupakan soft skill yang mesti dimiliki pengguna media digital. Netiket panduan bagi warganet untuk mencegah terjadinya hoaks, ujaran kebencian, perundungan, dan pencemaran nama baik sehingga medsos menjadi ruang yang teduh dan harmonis. 

“Etika dalam bermedia di antaranya mampu menyeleksi, menganalisis dan memverifikasi validitas pesan informasi yang akan diunggah atau dibagikan. Mampu berkolaborasi dan berjejaring dalam menciptakan ruang digital dan mengisinya dengan konten-konten agama yang positif dan menyejukkan,” jelas Aziz Nasution tentang etika membagikan informasi. 

Muhammad Hanif juga mengamini pentingnya literasi digital dalam membuat konten agama di media sosial. Elemen-elemen penting dalam membangun literasi digital di antaranya, secara kultural mampu memahami ragam konteks pengguna digital, secara kognitif memiliki daya pikir dalam menilai konten. Kemudian kreatif dan kritis, serta konstruktif dan komunikatif. 

“Sebagai bagian dari budaya digital, prinsip dasar pembuatan konten itu adalah paham dalam mengekstrak ide baik secara implisit maupun eksplisit dari media, memiliki kemampuan kurasi informasi serta menyimpannya agar dapat diakses kembali,” jelas Muhammad Hanif.

Dalam bermedia mesti memahami hak-hak digital setiap warganet, memiliki intuisi proteksi dalam membagikan informasi, dan pemberdayaan internet untuk menghasilkan karya produktif. 

“Yang harus kita pahami dalam menyelami dunia digital adalah think globally, act locally. Artinya kita harus punya kemampuan berpikir global agar ladang wawasan kita tidak hanya dari satu persperktif, namun tetap harus mempertahankan kearifan lokal. Dalam hal ini adalah tidak melupakan budaya-budaya ketimuran dalam berinteraksi pun atau mengaktualisasikan budaya menjadi konten digital,” ujarnya.(*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment