Antisipasi Radikalisme Digital
Grobogan – Media sosial merupakan sarana paling efektif bagi orang yang ingin menyebarkan paham redikalisme. Hal ini karena penggunanya banyak dan mencakup semua usia, mudah dibuat dan menyebarkannya, tak ada pengawasan yang ketat, dan media sosial bisa menerima jenis variasi fitur konten.
Demikian rangkuman pendapat seorang digital marketing strategist Femikhirana Widjaya tentang radikalisme digital pada webinar literasi digital bertajuk ”Antisipasi Radikalisme Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Jumat (13/8/2021).
Femikhirana kemudian mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Deputi VII Badan Intelejen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto di media massa terkait pola penyebaran radikalisme melalui media sosial yang menargetkan anak muda.
”Bahkan, saat ini banyak bertebaran konten yang memuat cara-cara membuat bom, agitasi, rekrutmen, teknik penyerangan, teknik gerilya kota, maupun praktik langsung membuat bom yang tersebar di media sosial,” jelas Femikhirana.
Konten-konten itu, lanjut Femikhirana, utamanya menyasar anak muda berusia 17-24 tahun. Padahal, banyak konten yang beredar di media sosial adalah hoaks. Masifnya penyebaran hoaks akan mempengaruhi jiwa anak muda yang labil dan tidak kritis, sehingga mereka melakukan langkah-langkah intoleren yang berujung pada tindakan radikal hingga mengarah ke terorisme.
Femikhirana mengatakan, maraknya konten radikal dikuatkan oleh survei yang dilakukan BNPT terbaru yang menyatakan 80 persen generasi milennial rentan terpapar radikalisme. Hal ini menjadi catatan serius mengingat generasi milennial cenderung menelan mentah-mentah informasi yang didapat, tidak melakukan cek, ricek, dan kroscek.
”Dan sikap intoleren ini biasanya muncul pada generasi yang tidak kritis dalam berpikir. Penyebaran radikalisme melalui media sosial menjadi menarik bagi generasi muda lantaran mereka berada pada usia yang rawan, butuh jati diri dan eksistensi,” tegas Femikhirana.
Femikhirana menambahkan, dalam melakukan penyebaran paham radikal tersebut, biasanya dibumbui dengan narasi nasionalisme, propaganda dikemas dengan narasi ketidakadilan, hingga pesan-pesan yang sifatnya ajakan maupun kesesatan pikir bahwa tatanan sosial saat ini perlu dibenahi.
”Bersyukur, Kominfo telah mengeluarkan pengumuman penegasan komitmen dalam menindak konten redikalisme terorisme mulai dari pemblokiran akun maupun konten hingga mendorong publik melaporkan konten Radikal terorisme melalui kanal pelaporan yang sudah disiapkan,” pungkas Femikhirana.
Narasumber lainnya dalam diskusi ini, Kepala MAN 4 Kebumen Muhamad Siswanto memaknai radikalisme sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik, paham yang mginginkan adanya perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan, atau sikap ekstrem dalam aliran politik.
”Radikalisme adalah satu langkah pendek menuju terorisme. Sedangkan
terorisme adalah tindakan kriminal yang didasarkan atas pemahaman radikal. Namun, pemahaman radikal tidak selalu menghasilkan aksi terorisme, tetapi aksi terorisme selalu berakar dari pemahaman atau ideologi radikal,” jelas Siswanto.
Siswanto mengatakan, pemahaman agama yang parsial dan tidak kaffah bisa menjadi sebab masuknya radikalisme. Selain itu, pemahaman agama eksklusif, lemahnya semangat nasionalisme, rendahnya kepedulian masyarakat turut berpengaruh terhadap masuknya paham radikalisme.
Siswanto menambahkan, sesungguhnya tak ada satupun agama di dunia yang mengajarkan kekerasan. Meski begitu beberapa langkah antisipasi perlu dilakukan untuk mencegah radikalisme dengan meyakini bahwa Islam adalah agama yang rahmatal lil alamin, tasamuh dalam media digital, menumbuhkan nilai cinta tanah air, mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam dunia nyata maupun maya.
Webinar yang dipandu moderator presenter Fikri Hadil itu, juga menghadirkan narasumber Prasidono Listiaji (pemimpin redaksi agendaindonesia.com dan konsultan media), Septa Dinata (Researcher Paramadina Public Policy), Shafinaz Nachiar selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment