News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Transformasi Digital: Selain Menuntut Adaptasi, Obesitas Informasi Perlu Diwaspadai

Transformasi Digital: Selain Menuntut Adaptasi, Obesitas Informasi Perlu Diwaspadai




Cilacap: Bagi pelaku profesi disc jockey (DJ) seperti Davina, dilarang manggung agar tak ada kerumunan jelas sangat menyiksa. Davina membutuhkan panggung konvensional, untuk jadi arena beraksi memandu musik di suatu klub malam. Karena itu, buat Davina, tak bisa manggung itu mengunci kreativitas dan gairah bermusiknya. Tapi pandemi Covid-19  sungguh tak bisa memberinya panggung. Lantas, bagaimana bisa survive di masa pandemi hampir dua tahun ini?

”Semula saya mati kutu bener. Tapi akhirnya saya belajar cepat dan sudah setahun ini teknologi digital memungkinkan saya berkenalan dengan konser DJ secara live streaming. Meski agak canggung, karena beraksi di layar kaca dan terhubung dengan link pengunjung yang ternyata bisa dibuat berbayar, maka ajojing secara streaming menantang juga buat ditekuni,” ujarnya. 

Lebih dari sekadar menantang ditekuni, live streaming juga cukup menghidupi. ”Karena melatih diri untuk kreatif memandu penikmat lagu dengan sajian konten live streaming yang selalu fresh dan disukai pengakses yang pengin terhibur ternyata seruuu dan menantang juga, di samping ada cuan masuk dari situ,” cerita DJ Davina saat diminta pendapatnya sebagai key opinion leader dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Cilacap, 6 Juli 2021.

Yang butuh panggung digital tentu tak cuma Davina. Menurut Arif Hidayat, dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes), hadirnya pandemi membuat ratusan juta orang Indonesia terhubung dengan media sosial karena mereka juga butuh panggung buat aktualisasi diri.

Panggung sosial di dunia digital, lanjut Arif, memang menggelembung. Dari 202 juta warga yang terhubung internet pada 2020/2021 ini, 170 juta di antaranya mengakses medsos buat cari panggung aktualisasi diri

”Yang mengakses internet sekadar untuk menjalin komunikasi dan informasi banyak, yang berbisnis dan menambah ilmu juga tak sedikit. Tapi, apa pun tujuannya, tetap mesti waspada. Jangan sembarang memposting ucapan, komentar atau informasi yang belum akurat, karena jangan-jangan niat menjadikan medsos sebagai arena pansos malah bikin masalah hukum. Sebab, kalau kita jadi penebar hoaks atau penebar kebencian, itu bisa mengakibatkan sanksi hukum serius kalau tak hati-hati,” pesan dosen fakultas hukum itu.

Davina dan Arif tampil dalam webinar Kominfo dalam program Indonesia Makin Cakap Digital yang membahas topik ”Transformasi Digital: Era Baru Interaksi Sosial”, yang digelar secara daring dengan ratusan peserta dari Kabupaten Cilacap. Diskusi dipandu oleh moderator Tomy Romahorbo dan tiga pembicara lain, Edy SR (brandpreneur), M. Fathikhun (dosen UNUGHA, Cilacap) dan Eka Y. Saputra (web developer dan konsultan IT).

Fathikun, pembicara lain, lebih mengurai kalau transformasi digital jelas banyak memudahkan interaksi kita, baik dalam kehidupan sosial maupun ekonomi. Dulu, kalau kita butuh diantar ke suatu alamat dengan ojek, mesti jalan ke pangkalan ojek dan bisa berdebat tarif sebelum diantar. 

”Kini, cukup dengan jempol, kita bisa undang tukang ojek online jemput ke rumah atau kantor kita, dan diantar dengan tarif yang sudah ditentukan dan disepakati oleh kita dan pengojek, karena ada operator yang mengatur aplikasinya. Bikin lebih nyaman buat pengguna dan abang ojeknya, itu berkat aplikasi ojek online,” papar Fathikun.

Saking butuhnya saluran ekspresi dan komunikasi yang kini banjir di dunia digital, banyak orang yang mempunyai akun medsos lebih dari satu. ”Banjirlah informasi dari Facebook, Instagram, WA, Tweeter, dan akibatnya kita justru mengalami obesitas informasi. Penyebabnya karena kita setiap hari mengkonsumsi junk information, informasi yang sebenarnya tak dibutuhkan tapi hadir dan membanjir di akun-akun medsos kita,” jelas Fathikun. 

Sebenarnya, brandpreneur Edy SR berpendapat, kalau banjir informasi itu disikapi dengan bijak efeknya malah bagus. Sebab, kita punya info pembanding yang, kalau diikuti dengan kecakapan memilah dan memilih, malah memperkaya wawasan dan kecakapan digital kita. Juga, informasi itu makin bermanfaat untuk membuat kita makin cerdas dan bijak dalam menyerap segala konten yang membanjiri kehidupan kita lewat media digital. 

”Kita memang mesti piawai mengambil manfaat, agar sampah informasi bisa ditangkap jadi peluang yang mempertebal isi brankas dan dompet kita dengan cuan yang bakal banjir. Tapi, banjir yang migunani (bermanfaat) buat maju dan lajunya hidup kita. Kuncinya, dari tukang ojek sampai disc jockey mesti mau adaptasi dengan transformasi digital yang terus bergulir. Karena, risikonya kalau tak mau adaptasi ya bisa mati,” pungkas Edy. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment