News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Ruang Digital Milik Semua, Kenali Hak dan Waspadai Kesenjangannya

Ruang Digital Milik Semua, Kenali Hak dan Waspadai Kesenjangannya




GROBOGAN : Ruang digital menjadi ruang bersama yang bisa digunakan manusia untuk mendukung berbagai kebutuhan hidupnya mulai dari berekspresi hingga memenuhi kebutuhan ekonomi hingga politik.
Di satu sisi, ruang digital hadir beriringan dengan hak-hak digital yang melekat pada setiap penggunanya. Hak digital menjadi satu turunan hak asasi manusia fundamental yang sudah eksis di dunia offline dan diterapkan di dunia digital. 

”Setiap manusia memiliki hak digital, sebagai hak asasi yang menjamin dirinya untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan perluasan hak digital mencakup hak untuk berekspresi serta hak untuk merasa aman dan nyaman di ruang digital,” ujar pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali (Unugha) Cilacap M. Fatikhun saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema "Menyikapi Kesenjangan Digital Antar Gender dan Kelas Sosial" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan Jawa Tengah, Jumat (3/9/2021).

Dalam webinar yang diikuti dua ratusan peserta itu, Fatikhun menguraikan, dalam ranah kewargaan digital, hak-hak digital tak pernah bisa dilepaskan dari tanggung jawab baik hak maupun kewajibannya yang mengatur soal kebebasan sekaligus batasan-batasan dari kebebasan tersebut.

”Dalam area budaya digital atau digital culture, indikator hak digital mencakup persoalan akses, kebebasan berekspresi, perlindungan atas data privasi, dan hak atas kekayaan intelektual,” kata Fatikhun. 

Fatikhun melanjutkan, hak-hak digital ini tak luput pula dari warna kesenjangan digital atau sering disebut digital divide. Kesenjangan digital mendeskripsikan beragam bentuk kesenjangan dalam pemanfaatannya, baik dalam suatu negara atau antar negara. Kesenjangan digital dapat dikatakan sebagai suatu masalah yang terjadi di masyarakat, sehingga menimbulkan adanya gap atau ketimpangan dan perbedaan yang menyebabkan ketidakseimbangan.

”Kesenjangan digital dapat dihubungkan dengan salah satu perbedaan sosial ekonomi antara si kaya dan si miskin. Jika kepada suatu generasi yaitu usia, maka ada si tua dan si muda, jika kepada gender misalnya antara perempuan dan laki-laki, dan jika merujuk letak geografisnya maka yang terjadi kesenjangan di perkotaan dan pedesaan,” kata Fatikhun. 

Menurut Fatikhun, pada dasarnya kesenjangan digital berupa suatu gap antara kelompok masyarakat yang tidak dapat menikmati teknologi digital. Yakni, tidak dapat mengakses internet sebagai alat untuk beraktivitas bekerja, berkreasi serta menikmati keuntungan yang didapat dari teknologi digital yang mana terdapat kelompok masyarakat yang sama sekali tidak dapat merasakan itu.

”Kesenjangan digital ini bisa dipicu karena infrastruktur yang sama sekali tidak terjangkau oleh teknologi tersebut,” ujar Fatikhun. Namun, dengan adanya hak digital yang sudah dimiliki, maka perlu dikembangkan pula kultur digital.

”Kultur digital ini merupakan kemampuan individu dalam membaca menguraikan membiasakan memeriksa dan membangun wawasan kebangsaan,” kata dia. Karena ini di Indonesia, maka kultur digital hendaknya berpedoman pada nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam kehidupan sehari-hari, kultur digital sebagai kewarganegaraan digital yang dalam konteks ke-Indonesia-an berada pada domain kolektif, formal, di mana kompetensi digital individu difungsikan agar mampu berperan sebagai warga negara dalam batas-batas yang berkaitan dengan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya dalam ruang negara.

”Indikator dari kecakapan dalam budaya digital atau digital kultur ini bagaimana setiap individu bisa menyadari bahwa ketika memasuki era digital secara otomatis telah menjadi warga negara digital dalam konteks keindonesiaan,” jelas Fathikun. 

Narasumber lain, Frida Kusumastuti, dosen Universitas Muhammadiyah Malang dan juga anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) yang turut menyusun Modul Etis Bermedia Digital dalam Program Literasi Digital Kominfo menuturkan, perkembangan komunikasi digital memiliki karakteristik komunikasi global yang melintasi batas-batas geografis dan batas-batas budaya. 

Sementara, setiap batas geografis dan budaya juga memiliki batasan etika yang berbeda. Setiap negara, bahkan daerah, memiliki etika sendiri. Begitu pula setiap generasi, memiliki etika sendiri. Misalnya saja soal privasi. 

”Dalam ruang digital kita akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultural tersebut, sehingga sangat mungkin pertemuan secara global tersebut akan menciptakan standar baru tentang etika,” tutur Frida.

Webinar yang dimoderatori Nabila Nadjib ini juga menghadirkan narasumber lain yakni: Entrepreneur dan graphologist Diana Balienda, pengurus GP Ansor Grobogan Rinduwan, serta Vanessa Amalia selaku key opinion leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment