News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Perangi Kabar Bohong dengan Refleksi Lewat Quran Surat Al-Hujurot Ayat 6

Perangi Kabar Bohong dengan Refleksi Lewat Quran Surat Al-Hujurot Ayat 6




Bantul – Praktisi teknologi finansial dan digital marketing Fadrian Gultom mengatakan, dengan populasi jumlah penduduk (2019) 270 juta lebih dan pengguna internet lebih dari 202 juta (74,8 persen), terdapat 800.000 (0,39 persen) situs penyebar hoaks di Indonesia. Hoaks dapat berdampak pada kondisi ekonomi, sosial, politik, bahkan keamanan negara.

”Pertambahan jumlah pengguna internet dan media digital dari tahun ke tahun ikut berimbas pada maraknya beragam informasi, tak terkecuali berita hoaks,” ujar Fadrian saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertema ”Menjadi Pejuang Anti Kabar Bohong” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (17/9/2021).

Menurut Fadrian Gultom, hoaks menyebar ke hampir seluruh platform media digital. Sebuah survei yang dirilis 2018 menyebutkan, lebih dari setengah (53,25 persen) jumlah responden mengaku sering menerima berita hoaks yang disebarkan melalui platform media sosialnya. Sekitar 45 persen mengaku hanya kadang-kadang menerima sebaran berita hoaks. 

”Ini sebuah kondisi yang serius, karena penyebaran hoaks telah begitu masif,” ujar Co-founder Akademia Virtual Media itu kepada lebih dari 320-an partisipan webinar siang itu.

Lebih lanjut Fadrian mengungkapkan, survei tersebut juga menemukan Facebook (81,25 persen) sebagai platform yang paling banyak ditemukan informasi hoaksnya. Kemudian disusul berturut-turut WhatsApp (56,55 persen), Instagram (29,48 persen), Line (11,37 persen), Twitter (10,38 persen), dan Telegram (5,86 persen).

Fadrian mengungkap, kenapa banyak orang mudah menjadi korban hoaks, alasannya karena hoaks itu mudah dicerna. Setiap orang punya kecenderungan alami untuk memercayai informasi yang mudah dicerna. Kemudian, hoaks itu bias konfirmasi, artinya kecenderungan untuk mencari atau menafsirkan berita yang sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dimiliki seseorang sehingga melupakan verifikasi. 

”Dan yang pasti, hoaks itu adalah sensasi, karena berita hoaks sangat sarat dengan judul artikel yang ’sensasional’ yang mampu memancing perhatian netizen dengan mudah,” tegas Fadrian Gultom.

Fadrian menambahkan, yang cukup menggembirakan dari survei itu, ialah 55,61 persen mengaku selalu melakukan verifikasi saat menerima informasi hoaks, 41,58 persen mengaku hanya kadang-kadang memverifikasi informasi, dan hanya 2,81 persen saja yang menjawab tidak pernah melakukan verifikasi informasi.

Meski begitu, imbuh Fadrian, survei tersebut juga menemukan lebih dari 75 persen responden mengaku kesulitan mendekteksi dan menilai informasi hoaks, dan hanya 24,80 persen yang mengaku mudah menemukannya. Untuk mengetahui informasi hoaks atau bukan, mereka mendeteksi dengan cara mencari pembanding dari sumber lain (44,73 persen), kroscek melalui mesin pencari (32,82 persen), menilai dari sumber atau pengirim (12,99 persen), bertanya pada kolega terpercaya (8,96 persen).

Sesungguhnya, hampir semua platform media sosial telah dilengkapi dengan fitur untuk pengaduan. Semua bergantung pada kemauan dan kemampuan dari para pengguna media digital. Untuk menjadi pejuang antikabar bohong, caranya yakni: aktif berpartisipasi, kritis, verifikasi berita, literasi digital, dan objektif.

Narasumber lain pada webinar ini, Kepala Bidang Pendidikan Madrasah Kantor Wilayah Kemenag DIY Muntolib menyatakan, tantangan utama masyarakat modern dewasa ini adalah penggunaan internet dan media digital yang tak hanya memberikan manfaat bagi penggunanya. Lalu, kurangnya kecakapan digital dalam menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak, maupun lemahnya budaya digital yang bisa memunculkan pelanggaran terhadap hak digital warga.

”Selain itu, rendahnya etika digital berpeluang menciptakan ruang digital yang tidak menyenangkan karena terdapat banyak konten negatif ataupun hoaks,” ujar Muntolib seraya menyebut rapuhnya keamanan digital juga berpotensi terhadap kebocoran data pribadi maupun penipuan digital.

Untuk menjadi pejuang antikabar bohong, Muntolib mengajak pengguna digital untuk melakukan refleksi melalui Al Quran Surat Al Hujurot ayat 6:
”Hai orang–orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”.

Dipandu moderator Niken Pertiwi, webinar kali ini juga menghadirkan  narasumber Ahmad Musyadad (Kasi Pendidikan Madrasah Kemenag Kabupaten Bantul), dan presenter Oka Fahreza selaku key opinion leader.  (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment