News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Mengubah Netizen Yang Gampang Mencaci Menjadi Pembawa Damai

Mengubah Netizen Yang Gampang Mencaci Menjadi Pembawa Damai




SRAGEN: Kasi Penyuluhan Agama Islam Kanwil Kemenag Jawa Tengah H.  Khamdani menuturkan Indonesia dikenal ramah di dunia nyata namun dalam survei Microsoft 2020 lalu dianggap kurang beretika di dunia maya.
Dalam survei itu Indonesia mendapat ranking 29 dari 32 negara, karena 3 faktor utama yang mempengaruhi yakni maraknya hoaks atau penipuan, ujaran kebencian, dan diskriminasi.

“Saat ini sebagian kecil pengguna digital atau netizen kita lebih menikmati perseturuan antar individu dan perkelahian antar kelompok di dunia maya daripada mendamaikan yang sedang berseteru,” kata Khamdani saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema "Adaptasi Empat Pilar Literasi Digital untuk Siswa” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Senin (27/9/2021).

Dalam webinar yang diikuti nyaris 700 peserta itu, Khamdani menuturkan jika dirunut lebih jauh peserteruan di dunia maya itu bisa dipicu berbagai hal. Salah satunya konflik di tingkat elit yang berpotensi memicu konflik horizontal di dunia maya dan dunia nyata.

“Bahkan netizen amat mudah untuk mencaci memaki merendahkan dan mudah menyalahkan orang lain, kita seolah lupa menjaga harkat dan martabat manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa lebih utama,” ujarnya.

Khamadani menuturkan mereka yang senang perseteruan di dunia maya melupakan perannya untuk menjadi bagian solusi, bukan bagian dari polusi. “Untuk itulah diperlukan etika digital, sebab setiap tahun pengguna internet meningkat dan netizen memiliki latar belakang berbeda sehingga harus ada batasan tertentu. Bila perseteruan ini tidak diantisipasi maka lama-lama akan muncul ancaman disintegrasi bangsa di dunia maya,” ujarnya. 

Khamdani menyebut pedoman etika berkomunikasi tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram dan terlindungi tanpa merugikan kepentingan bersama serta terjamin agar komunikasi yang di jalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku. “Juga tidak bertentangan dengan hak asasi pada umumnya termasuk hak di ruang digital,” ujarnya.

Khamdani menambahkan, pengguna perlu etis dengan ruang komunikasi digital yang memiliki karakteristik komunikasi global yang melintasi batas-batas geografis dan budaya. Sementara setiap batas geografis dan budaya juga memiliki batasan etika yang berbeda.

“Tujuan media digital yang cenderung instan seringkali membuat penggunanya melakukan sesuatu dengannya tanpa sadar sepenuhnya. Tindakan otomatis contohnya bangun tidur langsung buka gawai, begitu ada pesan langsung berbagi atau share tanpa saring,” katanya.

Narasumber lain webinar itu, Creative head FOINIKS Digital Adrie Wardhana mengingatkan pentingnya menyadari, menyesuaikan diri dan menerapkan etika digital saat menjelajah dunia digital. Contohnya tidak menyebarkan berita bohong dan tidak melakukan bully atau perundungan di dunia digital.

“Selain beretika digital penting memiliki skill digital, ini soal kemampuan menggunakan perangkat keras dan lunak untuk mengelola informasi, mengevaluasi, eksekusi dan menjadikannya sebuah konten digital untuk dibagikan,” kata dia. 

Skill digital, lanjut Adrie, penting karena saat ini proses pembelajaran yang sudah jauh berbeda. Misalnya di masa pandemi yang sudah berlangsung di tahun kedua ini, semua kegiatan dilakukan secara online dan murid dituntut untuk lebih mandiri dalam mengerjakan tugas dan pekerjaan rumah.

“Ketahui aplikasi yang mendukung belajar, tidak berbayar atau gratis, mudah digunakan, tidak memerlukan kebutuhan komputer spesifikasi tinggi,” ujarnya.

Webinar ini juga menghadirkan narasumber Afief Mundzir dari Kemenag Jateng, Nuzran Joher dari Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI serta dimoderatori Nabila Nadjib juga Rizka Yurista selaku key opinion leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment