News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Jangan Permisif Saat Temui Kekerasan Seksual di Ruang Digital

Jangan Permisif Saat Temui Kekerasan Seksual di Ruang Digital




PEMALANG : Berbagai macam tindak kekerasan seksual yang berseliweran di ruang digital berulang kali terjadi dan makin marak. Bentuk pelecehan di ruang maya itu tidak lagi sekadar peretasan yang diikuti penyebaran konten intim, tapi juga merambah aksi bermodus ancaman pemerasan lewat video intim.

Satu faktor yang dicurigai memicu maraknya kekerasan seksual online ini tak lain karena gagapnya masyarakat ketika berinteraksi di jagat digital. "Di balik kekerasan seksual online itu, perlu juga kewaspadaan terkait munculnya budaya permisif pengguna digital," kata Kaprodi PGMI STIT Pemalang Mu'ammar, saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema "Menciptakan Ruang Digital yang Aman dari Kekerasan Seksual Online" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, Senin (1/9/2021).

Dalam webinar yang diikuti 200 peserta lebih itu, Mu'ammar menjelaskan, sikap permisif atau sederhananya bersikap cuek atau membiarkan, secara tak langsung ikut menyuburkan kekerasan seksual online itu.

"Dari perspektif psikologis, sikap permisif ini berupa sikap senang ketika melihat orang lain di-bully atau dilecehkan. Semakin korban menderita, semakin senang. Jika ada yang memulai melecehkan, ramai-ramai mengikuti dan berkomentar tanpa menyadari bahwa itu tambah menyakitkan dan melecehkan korban," kata Mu'ammar.

Mu'ammar menengarai, fenomena suburnya sikap permisif pada kekerasan seksual online ini karena ada perubahan budaya seolah-olah dengan tidak memulai maka tidak merasa melakukan kekerasan seksual. 

”Jadi, dilakukan melalui kolom komentar, dianggap wajar dan normal,  dianggap guyon dan lucu, merasa gaul ketika ikut nimbrung, merasa jika membela diri dianggap bapak-bapak. Budaya seperti ini harus diubah," ujar Mu'ammar.

Mu'ammar lalu membeberkan akar persoalan budaya permisif ini, bisa jadi dari kebiasaan di era digital yang secara otomatis berdampak kepada perubahan dalam relasi-relasi sosial. Yakni ketika setiap individu cenderung menghabiskan sebagian waktunya di depan gadget atau laptop dan komputer untuk berkomunikasi. 

Dampak negatif relasi sosial yang terinterupsi dengan adanya hasil perkembangan dari teknologi digital adalah ketika era digital ini menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh.

"Kita biasa dimanjakan teknologi dan itu menyebabkan budaya malas, intens, pragmatis, dan ketergantungan. Hal ini akan menghambat budaya pemikiran kritis dan kreativitas, khususnya pada kalangan pelajar dan mahasiswa. Di sinilah perlunya literasi digital," tuturnya.

Mu'ammar mengatakan, pergeseran ini potensial memicu benturan budaya dan clash of civilization. Misalnya, kebiasaan tradisional yang berubah atau yang tidak dilakukan lagi. Memang, budaya tradisional tidak langsung hilang tetapi terjadi benturan terus-menerus.

"Jadi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara tak langsung memicu kekerasan seksual online menjadi semakin kompleks dan variatif," kata dia.

Mu'ammar lalu mengajak pengguna untuk kembali dan fokus pada manfaat teknologi digital, bukan pada yang negatif seperti kekerasan seksual online itu. Misalnya, bagaimana agar dari teknologi kita semakin cepat mengakses informasi, sehingga dapat mengembangkan kapabilitas dan profesionalitas. Atau, membuat masyarakat lebih cepat menerima informasi agar lebih maju, bahagia, dan sejahtera. Serta membantu mempercepat pembuatan keputusan tanpa harus bertemu dan berdasarkan database terintegrasi.

”Manfaatkan teknologi agar mendorong masyarakat menjadi lebih berani untuk beropini, mengutarakan pendapat, dan mengekspresikan di era disrupsi atau perubahan besar yang mengubah tatanan ini," kata Mu'ammar.

Dari maraknya kekerasan seksual online, Mu'ammar menegaskan, dunia digital selalu membawa dua sisi perkembangan teknologi. Yakni, sisi membangun dan sisi mendestruksi. 

Sementara itu, narasumber lainnya, social media communication PT Cipta Manusia Indonesia Annisa Choiriya Muftada mengungkapkan, hal yang mesti disadari adalah tantangan di ruang digital tanah air saat ini semakin besar, khususnya dalam membendung konten-konten negatif.

”Kejahatan di ruang digital terus meningkat mulai dari hoaks, penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual, perundungan siber, ujaran kebencian, hingga radikalisme berbasis digital. Ini perlu diwaspadai dengan cara menjaga bersama, peduli bersama," kata Annisa.

Dimoderatori Mafin Rizqi, webinar ini juga menghadirkan narasumber: Princeton Bridge Year On-Site Director Indonesia Sani Widowati, praktisi hukum Retna Susanti, serta Chintya Karani selaku key opinion leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment