News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Generasi Digital Harus Tahu Sejarah, Bagaimana Pancasila Akomodir Keberagaman

Generasi Digital Harus Tahu Sejarah, Bagaimana Pancasila Akomodir Keberagaman




Kota Pekalongan – Mayoritas pengguna internet atau ruang digital di Indonesia ialah kaum milenial dan generasi Z (gen Z). Mereka bisa disebut sebagai generasi gadget, lantaran perilakunya ditentukan oleh benda tersebut. Tak pelak, benda itulah yang sangat efektif menyentuh dunia anak muda untuk melestarikan nilai-nilai Pancasila.

”Jika milenial tidak mengerti pentingnya Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa, maka tunggulah kehancuran persatuan kita,” kata Saiful Fallah. Ia sengaja mengutip ucapan Presiden Jokowi, saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertema ”Kreatif Lestarikan Nilai-Nilai Pancasila di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (16/9/2021).

Saiful Fallah mengatakan, generasi milenial dan sesudahnya mestinya paham fungsi Pancasila sebagai dasar negara, falsafah negara, pegangan hidup berbangsa dan bernegara, sistem nilai dalam bersikap dan berperilaku bermasyarakat baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Nilai itu harus mampu dilestarikan oleh generasi muda di era digital.

Generasi muda, lanjut Saiful, juga harus mengetahui sejarah bagaimana Pancasila mengakomodir keberagaman. Dari sejarah yang ada, tidak hanya pemimpin nasional yang ikut mengeluarkan aspirasinya, tokoh-tokoh pemuka agama pun ikut andil dalam perumusan Pancasila. Salah satunya dari kader NU dan Muhammadiyah. 

”Meskipun kebanyakan dari tokoh Islam, namun tetap Pancasila akan menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, agama yang berbeda-beda di Indonesia,” tegas Saiful Falah kepada 120-an partisipan webinar.

Pentingnya melestarikan nilai Pancasila dalam ruang digital, yakni dengan mengamalkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menghormati agama dan kepercayaan lain, tidak memaksakan agama atau keyakinan kepada orang lain, maupun tidak menjelekkan atau menghina agama kepercayaan orang lain.

Kemudian, sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, maka di dunia digital akan berlaku adil, beradab, dan menghormati kesetaraan. Sesungguhnya tidak sulit menjadi pribadi yang adil dan beradab. Bagaimana kita diperlakukan, seperti itulah kita memperlakukan orang lain. ”Jika tak ingin dibully, maka jangan membully,” cetus Saiful.

Sila Persatuan Indonesia mengandung makna menjaga persatuan dengan tidak membuat postingan yang memecah belah bangsa. Perbedaan pendapat di dunia maya jangan berlanjut ke dunia nyata. Sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan memiliki nilai demokratis, transparan dan akuntabel.

”Contoh dalam dunia digital tidak memaksakan kehendak kepada orang lain dan menghormati pendapat orang lain. Setiap perbedaan pandangan dan perselisihan pendapat harus diselesaikan dengan cara bermusyawarah dan mufakat,” jelas pengajar SMAN 3 Pekalongan itu.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bernilai gotong royong. Contoh dalam dunia digitalnya, semua orang bebas berekspresi di ruang digital, tapi tetap harus taat peraturan dan menghormati satu sama lain. Indonesia adalah negara hukum. Ada konsekuensi hukum dari setiap tindakan kita.

”Strategi melestarikan nilai Pancasila ialah melalui: penguatan karakter individu lewat keluarga, lembaga negara, media massa; keluarga memberikan keteladanan; dan pendidikan tentang pengetahuan dasar nilai Pancasila dan kebhinnekaan,” pungkas Saiful Fallah.

Narasumber lain dalam webinar kali ini, budayawan pesantren Kaliopak M. Jadul Maula mengatakan, berkaca pada beberapa hajatan politik nasional, dunia digital mampu menciptakan keterbelahan masyarakat yang tersegregasi. Friksi itu menunjukkan bahwa budaya ”nutul” kita masih membutuhkan digital skills, memahami seluk beluk digital yang baik guna mewujudkan budaya digital yang berkemanusiaan.

”Dari perspektif budaya, tantangannya ialah bagaimana sebagai manusia kita tidak kehilangan integritas lantaran teknologi punya banyak jebakan bahaya. Sebaliknya, jika manusia punya kemampuan dan integritas, maka akan mampu mengenali sekaligus mengatasi jebakan bahaya digital itu,” kata Jadul Maula yang seorang budayawan itu.

Menurut Jadul, Pancasila sebaiknya tidak dijadikan doktrin penguat rezim yang berkuasa, namun harus menjadi ilmu yang dipraktikkan dan diteladani. ”PR-nya, bagaimana melalui teknologi digital kita menjadi lebih memahami, mengamalkan dan mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan tujuan kebangsaan kita sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945?” pungkas Jadul.

Dipandu moderator Rara Tanjung, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Mohammad Adnan (CEO Viewture Creative Solution), Edie Sochib El Samah (Ketua PGRI Ranting SMAN 3 Pekalongan), dan Safira Hasna (Wakil II Mbak Jateng 2019) selaku key opinion leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment