News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Etika Diskusi Publik di Ruang Digital

Etika Diskusi Publik di Ruang Digital






Semarang – Ruang digital kini telah menjadi bagian hidup dan menyatu dengan kehidupan manusia sehari-hari. Apapun alasannya, mulai dari hanya ikut tren, sifatnya yang cepat, membangun jejaring pertemanan, pengembangan bisnis, berburu cuan, sumber ilmu dan informasi, menghilangkan stres, menyalurkan hobi, kini beragam kepentingan itu menyatu di ruang digital.

”Meski begitu, menjadikan platform digital sebagai ruang diskusi publik, harus mempertimbangkan Indonesia yang majemuk, multikultur,” ujar dosen di departemen Manajemen FEB Universitas Indonesia Rifelly Dewi Astuti saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Ruang Diskusi Publik melalui Platform Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Semarang , Jawa Tengah, Senin (27/9/2021).

Dalam webinar yang diikuti 440-an partisipan webinar itu, Dewi menegaskan pentingnya memahami budaya digital saat berada di ruang digital. Budaya digital dalam hal ini, yakni kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.

”Digital culture meliputi internalisasi nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, digitalisasi kebudayaan dan pemanfaatan TIK, perilaku cinta produk dalam negeri dan kegiatan produktif lainnya termasuk diskusi, dan memahami hak-hak digital,” urai Rifelly Dewi.

Nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, lanjut Dewi, harus menjadi landasan bermedia digital. Dengan begitu, misinformasi, disinformasi dan malinformasi akan bisa dikurangi, bahkan tidak terjadi lagi. Begitu juga dengan maraknya cyber bullying. Internalisasi nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di dunia maya adalah suatu keharusan.

”Hal itu mengingat 49 persen netizen Indonesia pernah mengalami perundungan di sosial media, dan kebanyakan mereka mengalaminya di platform Instagram,” kata Rifelly Dewi.

Rifelly Dewi menambahkan, kebebasan berekspresi maupun berdiskusi di media digital bukannya tanpa batas. Selain harus mempertimbangkan hak orang lain, ruang digital juga memiliki aturan yang tercakup dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Jenis informasi yang dilarang menurut UU ITE: pornografi, khususnya pornografi anak (untuk menjaga hak anak), penyebaran ujaran kebencian (untuk melindungi hak komunitas), hasutan pada publik untuk melakukan pembunuhan (untuk melindungi hak orang lain), advokasi nasional, ras, atau agama yang dapat memicu hasutan diskriminasi, kekerasan dan permusuhan (hak untuk hidup).

Narasumber lain dalam diskusi ini, Pemimpin Redaksi Channel9.id M. Azis Nasution dari perpektif etika digital menyatakan, dalam dunia digital berlaku yang namanya netiket (network etiket). Netiket digunakan ketika kita berkomunikasi dan berinteraksi di media sosial.

Menurut Azis Nasution, berdiskusi di manapun termasuk di ruang digital selalu ada norma yang mengaturnya atau disebut etika berdiskusi. Untuk berdiskusi di ruang digital, maka harus menggunakan bahasa yang santun, baik dan benar, agar terhindar dari kesalahpahaman. 

”Selain itu, berdiskusi harus menghargai pendapat orang lain, kontrol kepada konten, over posting, gunakan referensi dan jauhi plagiasi,” sebut Azis Nasution.

Pada kesempatan paparan, Azis juga meberikan tips untuk selalu mawas diri dalam diskusi. Misalnya, jauhi diskusi yang menyinggung masalah SARA dan isu sensitif, tidak bicara masalah pribadi dan hal-hal yang sepele (receh), cek dan ricek kebenaran informasi yang berkembang di media sosial, jauhi diskusi yang bersumber dari sampah digital yakni hoaks, ujaran kebencian, dan perundungan.

”Gunakan Ruang Publik sebagai sarana berdiskusi untuk menambah pengetahuan, meningkatkan ketrampilan serta menyebarkan informasi yang positif dan inspiratif,” tandas Azis Nasution.

Dipandu moderator presenter Thommy Rumahorbo, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Rizki Ayu Febriana (Business Coach UMKM), Heru Prasetia (pegiat literasi media), dan Ayu Rachmah selaku key opinion leader. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment